Tentang Cita-Cita Keadilan Sosial
Sejarah Pikiran yang Bertindak
Pancasila sebagai ideologi bangsa seharusnya menjadi dasar
penyelenggaraannegara dan national and character building. Depolitisasi
dan deideologisasi selama 32 tahun lebih, telah mengakibatkan kerumitan
tersendiri dalam ideologisasi pembangunan nasional yang berdasarkan
Pancasila dalam situasi Indonesia di bawah dominasi dan hegemoni
kapitalisme internasional.
Ideologi adalah salah satu kajian yang paling rumit akan tetapi
mengandung unsur konfliktual yang mampu melibatkan banyak manusia.
Sebagai contoh kerumitannya, sesungguhnya apakah ideologi dari Negara
Orde Baru (NOB), apakah Pancasila, apakah Developmentalism
(Pembangunanisme), apakah iliterisme, atau jika kita gunakan perspektif
mereka yang mengkritik Orde Baru karena Orde Baru adalah wujud dominasi
Jawa dan bergaya Mataram, yang berarti ideologi Orde Baru adalah
Kejawen.
Mengamati kerumitan dalam mendefenisikan ideologi, kita harus menelusuri
terlebih dahulu ideologi dan sebelumnya, yaitu lewat pemahaman sejarah
danperkembangan masyarakat khususnya di Eropa. Masyarakat memiliki
lokalitas dalam arti ia berada dalam identitas yang saling berbeda;
plural dalam pengertian horizontal gender, suku, ras maupun vertikal
akses ekonomi dan politik. Nasionalitas merujuk pada karakter umum
kekuasaan, mulai dari situasinya, cita-cita dan proyeksinya hingga
kendalinya. Globalitas masyarakat adalah dialektika emansipasi
kemanusiaan antar keyakinan, pemikiran dan sistem kebudayaan. Secara
sederhana lokalitas-nasionalitas-Globalitas adalah proses membangun
relasi yang utuh antara geo sosial-ekonomi-politik dan cara pandang
kemanusiaan yang bisa jadi ideologi yang membebaskan.
Jika hal tersebut di atas dalam konteks sejarah, di Eropa misalnya
konsep-konsep ideologi lahir sebagai wujud pembebasan masyarakat dari
kungkungan gereja dan feodalisme, demikian juga dengan lahirnya
nasionalisme, sebagai wujud dari keberadaan nation state yang lahir dari
perjanjian Westphalia untuk mengakhiri perang agama belasan tahun di
Eropa.
Maka ideologi dalam perspektif yang paling sederhana, adalah sejarah ide
dan sejarah tindakan yang mampu memobilisasi manusia dalam perjuangan
demi cita-cita sosial (sejarah pemikiran yang bertindak). Beberapa
peperangan dan keberhasilan revolusi kaum borjuis dalam Revolusi
Perancis, Revolusi Amerika dan Revolusi Inggris, telah menjadikan sebuah
kemenangan bagi kapitalisme liberalisme, sekaligus sebagai kondisi yang
melahirkan sosialisme, yang dalam perkembangan setelah munculnya
Karl-Marx, Sosialisme diperkenalkan dengan Sosialisme Utopis dan
Sosialis Ilmiah.
Pemikiran-pemikiran Marx kemudian menjadi sebuah isme yang melahirkan
berbagai macam variasi, mulai dari Marxisme-Leninisme (Marxisme menurut
Stalin), Marxisme Ortodox dan revisionis yang kemudian melahirkan yang
kini dikenal sebagai Sosialime Demokratik. Mereka yang menolak
Marxis-Leninisme dan Sos-dem kemudian membuat mainstreams baru yang
dikenal sebagao Neo-Marxis. Demikian juga varian-varian yang lahir dari
tradisi Marxis di dunia ketiga, seperti Maois, pemikiran revolusi Che
Guevara dan pemikiran-pemikiran nasionalis kiri lainnya. Kalau kemudian
kita diperkenalkan bahwa imperialisme adalah puncak tertinggi dari
kapitalisme, militerisme adalah ekspresi puncak dari kapitalisme, maka
kapitalisme juga menemukan bentuk kecelakaanya dalam fasisme.
Ekspansi kapitalisme ke negara-negara dunia ketiga kemudian tidak saja
menciptakan watak kapitalisme yang berbeda pada era pasca kolonial,
tetapi juga melahirkan respon perlawanan yang tidak sepenuhnya gerakan
keagamaan, tidak sepenuhnya nasionalisme, dan dan tidak sepenuhnya
komunisme, termasuk juga ide-ide perlawanan yang lahir dari tradisi
mesianik dan melirianisme seperti yang terjadi dalam sejarah pemikiran
dan gerakan politik di Indonesia. Yang pada intinya dunia ketiga
khususnya Indonesia - tidak saja diperkenalkan dengan cara produksi
baru, tetapi juga mengalami internalisasi konflik internasional. Hal ini
dapat kita lihat tidak saja konflik antar negara kolonialis tetapi juga
bagaimana perlawanan terhadap kapitalisme (kolonialisme) berbarengan
dengan saling bertentanganya antar pengikut ideologi-ideologi yang
melawan kapitalisme, bahkan diinternal sebuah ideologi. Dalam konteks
keindonesian, bahkan ideologi menjadi sebuah kerja kebahasaan sebagai
upaya membangun moment historis. Artinya di dunia Barat kontemporer
senantiasa melahirkan ideologi dalam determinisme ekonomi, sedangkan di
dunia Timur, moralitas dan spiritualitas adalah pembentuk sikap sejarah
dan sikap politik yang keduanya bisa kita sebut juga sebagai sikap
ideologi.
H. Misbach misalnya. Dia berangkat ke dunia pergerakan karena diilhami
ajaran Islam atau semangat jihad (Islamisme). Tetapi dalam memahami
dunia dia menggunakan marxisme (komunisme), dan dalam konteks geo
politik ia seorang nasionalis (Nasionalisme), lihat saja dari organisasi
yang diikutinya. Pertama ia mendirikan Sub Tentera Kandjeng Nabi
Moehammad serta menerbitkan Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Tidak
cukup dengan itu, ia kemudian menjadi propagandis untuk pengorganisiran
petani bagi National Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH). Setelah
keluar dari penjara ia bergabung dengan SI Merah/Sarekat Ra`jat-PKI.
Dalam masa pembuangannya di Digul, ia menulis gagasannya tentang
“Islamisme-Komunisme”. Fenomena Misbach ini seharusnya merontokan bahwa
pergerakan politik Indonesia secara tegas dibagi menjadi Islamisme,
Komunisme dan Nasionalisme seperti yang diajarkan sejarawan Belanda
ataupun sejarawan yang mencangkok darinya, maka pilihan ideologi adalah
pertemuan apa yang dirasakan dengan istilah atau bahasa yang kemudian
dijadikan pembenaran.
Takashi Shiraishi (1997) melihat; gerakan rakyat yang tampil dalam
bentuk-bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan,
serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian,
teater, dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling mencolok bagi
orang Belanda untuk melihat kebangkitan “bumiputra” pada awal abad XX.
Fenomena tersebut sampai saat ini masih menyandang sebutan “pergerakan”,
di mana “bumiputra” bergerak mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran
politik mereka yang baru, menggerakan pikiran dan gagasan, dan
menghadapi kenyataan di Hindia dalam dunia dan zaman yang mereka rasakan
bergerak. sebagaimana Sartono Kartodirdjo (1984) mengungkapkan: "Satu-satunya
pokok persoalan yang jelas-jelas memperlihatkan saling ketergantungan
yang aktual atau potensial antara sejarah dan sosiologis adalah gerakan
sosial.”
Kemudian, ulasan tentang ideologi-ideologi justru kemudian menjadi sebuah “rumah-kaca”
yang gagal memahami tentang bahwa para pelaku ideologi adalah orang
yang sedang merespon dunia yang menurutnya bergerak dan diapun bergerak
mempraktekan pergerakan dan dalam kenang-kenangan kita sekarang menjadi
sebuah memori tentang sejarah pikiran yang bertindak. Kegagalan atas
pemahaman tersebut lahir dari historiografi - yang menurut Takashi
Shiraishi (1997) - adalah historiografi ortodox yang merupakan
historiografi cangkokan. Yang boleh kita sebut sebagai sejarah dari
kinerja polisi politik seperti yang secara romantis digambarkan
Pramoedya Ananta Toer (1988) lewat Rumah Kaca.
Untuk itu Pancasila harus dilihat sebagai moment bahasa dari pemikiran
(teori) dan tindakan (praktek) atau refleksi dan aksi pergerakan
kemerdekaan Indonesia dan momentum sejarah tentang dasar bagi Indonesia
merdeka. Meski gagasan memiliki dialektika kemanusian yang global
(kemanusiaan yang adil dan beradab), pewujudan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia tetap bersendikan pada sosio nasional
(persatuan Indonesia) dan sosio demokrasi (kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah pemufakatan dan musyawarah perwakilan). Mari kita simak secara
seksama Transkrip Pidato BK di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni
1945:
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan
Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophisc
hegrondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang
muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
“Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia
itu........................... Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung" ini
sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran
kita, sebelum Indonesia Merdeka datang.............. Dasar pertama, yang
baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. K
ita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia........ Justru inilah
prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua,
yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
“internasionalime".... Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah
dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan.......................... Priinsip No. 4 sekarang saya
usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu
prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam
Indonesia Merdeka.................. Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
........................
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah PancaSila. Sila artinya
azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi....... kebangsaan dan internasionalisme,
kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang
dahulu saya namakan socio - nationalisme. Dan demokrasi yang bukan
demokrasi barat, tetapi politiek-economische demokratie, yaitu politieke
demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan
kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya
namakan socio -democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu
sama lain................ Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan
yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia
yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong.
Alasan Berdirinya Sebuah Bangsa dan Pemerintahan Negara para pemimpin
perjuangan nasional Indonesia, dalam merumuskan cita-cita Indonesia
merdeka, sebagaimana kemudian tersurat dalam Pembukaan UUD 1945,
memandang kemerdekaan dari empat hal. Pertama. Kemerdekaan adalah hak
segala bangsa (self determination rights); Kedua. Kemerdekaan adalah
Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (anti kolonialisme dan anti
imperialisme), karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan (hak asasi
manusia universal) dan perikeadilan; Ketiga. Kemerdekaan adalah pintu
gerbang Negara Indonesia, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan Pancasila.
Inti makna dari sebuah kemerdekaan nasional adalah agar sebuah negara
bangsa (nation state) dapat mengelola sumber-sumber agraria (kekayaan
alam) yang dimilikinya untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyatnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, sebagai upaya menghapuskan
eksploitasi manusia ”yang kuat” kepada manusia ”yang lemah”
(exploitattion de l-’homme par l’homme), perekonomian nasional disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Alasan berdirinya
bangsa Indonesia bukan sekedar konsolidasi primordial tetapi juga
konsolidasi nasional ekonomi politik yang harus maju dan muncul karena
kalau gagal akan hilang selamnya di tengah kekuatan besar ekonomi,
politik, budaya, dan militer negara-negara besar. UUD 1945
mengamanatkan:
BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
The founding fathers Indonesia menuangkan gagasan arah ekonomi nasional
dalam Pasal 33 UUD. Pasal ini dirumuskan oleh Hatta sebagai dasar
politik perekonomian dalam rangka pembangunan ekonomi selanjutnya.
Perumusannya dilakukan dengan pertimbangan terjadinya perubahan di Eropa
(terutama Belanda) di mana kapitalisme liberal berangsur-angsur lenyap,
dan aliran neomerkantilisme bertambah kuat. Menimbang hal itu, maka
Hatta berpendapat bahwa semangat kekeluargaan perekonomian dan
kegotongroyongan sebagai bentuk kolektivisme demi menuju prinsip
kesejahteraan bersama merupakan karakter ekonomi nasional.
Pasal 33 UUD 1945 merupakan kebulatan pendapat yang hidup dalam
perjuangan kemerdekaan pada zaman Hindia Belanda. Apabila diperhatikan
struktur perkonomian di masa itu, maka terdapat tiga golongan ekonomi
yang tersusun bertingkat. Golongan atas ialah perekonomian kaum kulit
putih, terutama bangsa Belanda. Produksi yang berhubungan dengan dunia
luaran hampir rata-rata di tangan mereka, yaitu produksi perkebunan,
produksi industri, jalan perhubungan di laut, sebagian di darat dan di
udara, ekspor dan impor, bank serta asuransi. Lapis ekonomi kedua, yang
menjadi perantara dan hubungan dengan masyarakat Indonesia berada
kira-kira 90 persen di tangan orang Tionghoa dan orang Asia lainnya.
Orang Indonesia yang dapat dimasukkan dalam lapis kedua ini tidak lebih
dari 10 persen. Itupun menduduki tingkat sebelah bawah. Mereka sanggup
masuk ke dalam lapis kedua itu karena kegiatannya bekerja dibantu oleh
modal yang dimilikinya. Lapis ketiga adalah perekonomian segala kecil;
pertanian kecil, pertukangan kecil, perdagangan kecil, dan lain
sebagainya. Pun pekerja segala kecil; kuli, buruh kecil, dan pegawai
kecil diambil dari dalam masyarakat Indonesia ini.
Dalam perekonomian yang segala kecil itu tidak mungkin orang-orang
dengan tenaga sendiri sanggup maju ke atas. Kecuali beberapa ratus orang
Indonesia yang memiliki modal usaha sedikit yang sanggup menempatkan
dirinya dalam golongan dagang menengah yang hampir rata-rata diisi orang
Tionghoa dan orang Asia lainnya.
Dalam keadaan ekonomi kolonial semacam itu, di mana pergerakan
kemerdekaan mencita-citakan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur di kemudian hari, hiduplah keyakinan bahwa bangsa Indonesia
dapat mengangkat dirinya keluar dari lumpur, tekanan dan isapan, apabila
ekonomi rakyat disusun sebagai usaha bersama berdasarkan koperasi
(Hatta, 1970) Semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan inilah yang
menjiwai perumusan gagasan pengelolaan sumber-sumber perekonomian rakyat
dalam UUD 1945.
Dinyatakan di dalamnya, perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang
penting dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara.
Hanya cabang-cabang yang tidak penting atau tidak menguasai hajat hidup
rakyat banyak saja yang dapat dikembangkan di luar kekuasaan negara.
Sumber-sumber kekayaan yang dikuasai oleh negara itu, baik berupa bumi,
air dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya, haruslah digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam Penjelasan pasal ini, dinyatakan: “Produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang-perorang. Sebab itu, perekonomian disusun bersama berdasar asas
kekeluargaan”.
Selain menegaskan aras ekonomi nasional, UUD 1945 juga menyiratkan nilai
nasionalisme ekonomi. Rumusan nasionalisme ekonomi untuk Indonesia yang
secara deduktif dapat diformulasikan dari Penjelasan mengenai Pembukaan
dan Pasal 33 UUD 1945 ialah suatu paham kebangsaan di bidang ekonomi
yang berlandaskan kepentingan mayoritas bangsa Indonesia yang tercermin
dalam suatu struktur sosial di dalam negeri di mana mayoritas bangsa
Indonesia berada dalam posisi dominan baik politik maupun ekonomi.
Rumusan nasionalisme ekonomi untuk Indonesia menghendaki secara mutlak
suatu restrukturisasi ekonomi Indonesia dari struktur ekonomi kolonial
menjadi struktur ekonomi bangsa merdeka dengan mayoritas bangsa sebagai
pelaku dan tulang punggungnya (Sritua Arief, 2002).
Selanjutnya, Pasal 34 juga menjelaskan lebih luas tentang tanggung jawab
negara dalam mensejahterakan rakyat. Dalam Penjelasannya, Pasal 34 ini
mempunyai keterkaitan erat dengan Pasal 33. Karena itu, peranan negara
yang dimaksud dalam pasal ini, harus pula dikaitkan dengan peranan yang
harus dimainkan oleh negara dalam menjamin agar sumber-sumber kemakmuran
yang disebut dalam Pasal 33. Sehingga, sumber-sumber kemakmuran
tersebut dapat dinikmati oleh golongan masyarakat fakir dan miskin,
serta benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
seluruh rakyat.
Pengertian orang fakir, orang miskin, dan orang (anak) terlantar dalam
Pasal 34 UUD 1945 dipahami sebagai 3 (tiga) konsep yang menunjukkan 3
(tiga) tingkatan kelompok yang mempunyai kondisi ekonomi paling lemah
dalam masyarakat. Ketiganya dapat dilihat sebagai konsep mengenai pelaku
ekonomi dan sekaligus sasaran kemakmuran yang dijadikan ukuran paling
utama dalam pemerataan kemakmuran bersama seperti yang dimaksudkan dalam
ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Menurut Pasal 34 ini, pemerintah
diwajibkan memelihara ketiga kelompok simbolis yang dianggap paling
lemah itu.
Dengan demikian, kendati kedua pasal ini berada dalam bab yang sama,
ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 bersifat memperjelas tanggung jawab
sosial pemerintah guna menyantuni dan memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat tidak mampu. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 33, selain
ditujukan kepada negara, juga ditujukan kepada golongan yang mampu
berusaha. Untuk itu, Pasal 33 ini juga memuat ketentuan mengenai
semangat kebersamaan, semangat kekeluargaan, bangun dan wadah usaha,
sumber-sumber ekonomi harus digunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.
Dari Pasal 33 dan Pasal 34 ini, dapat pula ditarik adanya ketentuan
mengenai sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan sosial (objeknya),
pelaku ekonomi/usahanya (subjeknya), wadah/bentuk usahanya, cara-cara
penggunaan objek usaha itu (proses produksinya) serta tujuan akhir
kegiatan usaha itu, yakni guna mencapai kemakmuran bersama dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.
Karena itu, apabila dirinci, gagasan demokrasi ekonomi dalam konstitusi ini dapat dilihat dari beberapa segi;
- Sumberdaya ekonomi sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat,
- Pelaku ekonomi sebagai subyek usaha kemakmuran bersama,
- Bentuk-bentuk usaha sebagai wadah pengembangan sumber-sumber kemakmuran,
- Proses produksi dan pengelolaan sumber-sumber kemakmuran,
- Tujuan produksi dan pengelolaan sumber-sumber kemakmuran itu (Jimly Asshiddiqie, 1994).
Konsep ekonomi nasional ini, seperti yang disampaikan Hatta, jelas
menunjukkan perlunya suatu proses perombakan besar ekonomi yang
bertujuan mengubah dialektika hubungan ekonomi yang ada sejak zaman
kolonial.
Dialektika hubungan ekonomi yang akan diubah ini selain akan dilakukan
melalui pengorganisasian ekonomi rakyat, juga dilakukan dengan
upaya-upaya yang sistematis demi mewujudkan keseimbangan dalam pengusaan
sumber-sumber ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar