Pengembangan Dan Peningkatan Profesionalisme Guru
Menghadapi arus globalisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat dipersiapkan melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Salah satu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan. Pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia. Dalam
proses tersebut berbagai aspek kehidupan berpengaruh secara kualitas
ataupun kuantitas.
Sanmustari dkk., (1989), mengatakan bahwa kemajuan suatu bangsa atau
daerah lebih banyak ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya
daripada kekayaan sumber daya alamnya. Untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, salah satu upaya penting dan strategis dilakukan
adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan kata lain,
pendidikan adalah memegang kunci kemajuan suatu bangsa. Karena itu,
suatu bangsa yang didukung oleh jumlah SDM yang besar dengan kualitas
yang optimal akan mendatangkan kesejahtraan yang optimal pula bagi
bangsa tersebut, tetapi suatu bangsa yang didukung oleh jumlah SDM yang
besar dengan kualitas yang minimal (rendah) akan merupakan beban yang
sangat berat (cenderung menimbulkan malapetaka) bagi bangsa tersebut.
Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan kualitas SDM
hanya bisa dilakukan melalui pendidikan (Dantes, 2004: 1).
Dalam kaitan dengan hal di atas, ada tiga lembaga yang harus secara
serius dapat mengupayakan hal tersebut, yaitu pendidikan dalam keluarga
(pendidikan nonformal), pendidikan di masyarakat (pendidikan nonformal),
dan pendidikan di sekolah (pendidikan formal). Dewasa ini, pendidikan
formal memegang peranan yang strategis dalam kaitannya dengan
pengembangan dan peningkatan profesionalisme guru.
Guru adalah salah satu komponen dalam instrumental input yang memegang
posisi yang strategis. Karena hal tersebut merupakan salah satu faktor
kunci sukses dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan untuk dapat
melahirkan sumber daya manusia yang handal, menguasai ilmu pengetahuan,
dan memiliki moral yang baik. Hal ini dikatakan demikian, karena gurulah
yang merencanakan, menata, mengelola dan mengevaluasi proses tersebut.
Karena strategisnya posisi guru dalam konteks pembelajaran, wajarlah
profesi guru diakui sebagai jabatan profesional
Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar tetap memegang peranan
penting karena adanya beberapa unsur dari aspek kemanusiaan dalam proses
pembelajaran yang masih belum dapat digantikan dengan media lain,
seperti radio, televisi, tape rekorder dan sebagainya. Aspek-aspek yang
dimaksud antara lain, sikap, nilai, perasaan, motivasi, kepribadian, dan
kebiasaan, yang merupakan faktor psikologis yang cukup penting bagi
keberhasilan proses belajar mengajar. Oleh karenanya, pekerjaan sebagai
seorang guru selalu diperlukan sehingga dibutuhkan pendidikan khusus
bagi calon guru agar dapat menjadi guru yang profesional.
Sementara, peran guru demikian penting dalam peningkatan mutu
pendidikan, kondisinya justru dikeluhkan belakangan ini. Dewan Riset
Nasional (1993), misalnya mengungkapkan bahwa penyebab rendahnya daya
serap pendidikan adalah guru yang kurang profesional (Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, Nomor 10 Februari 2003). Nasanius (dalam Hasan, 2003)
mengatakan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh
kurikulum, tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan
keengganan belajar siswa. Demikian juga Purwanto (2003), mutu pendidikan
nasional yang rendah salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang
rendah. Profesionalisme guru yang belum menunjukkan kualitas yang
memadai, disebabkan oleh banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran
yang bukan bidangnya atau kompetisinya, seperti guru Biologi mengajar
Kimia atau Fisika, guru IPS mengajar Bahasa Indonesia (Hasan, 2003).
Dahrin (2000) mengatakan secara kuantitatif jumlah tenaga guru telah
cukup memadai, tetapi mutu serta profesionalismenya belum sesuai dengan
harapan. Banyak di antaranya tidak berkualitas dan menyampaikan materi
pelajaran, sehingga kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan
pendidikan yang benar-benar berkualitas. Jadi, ketidaksesuaian antara
kemampuan guru dengan apa yang diajarkan membuat para siswa tidak
mencapai prestasi yang gemilang (Bastian, 2003). Hal ini dapat dilihat
dari salah satu contoh, yaitu hasil penelitian Maba (2002) bahwa
kegairahan guru SLTP/SMU di kota kalah dalam membuat tes hasil belajar
siswa yang berkualitas. Guru di kota umumnya, enggan membuat konstruksi
tes yang bagus karena kebanyakan sibuk sambil mengajar di negeri dan
swasta (Bali Post, 13 September 2003).
Hal senada dikatakan oleh Khoe Yau Tung (2002) bahwa guru seharusnya
menjadi manajer kelas. Ia harus dapat bertanggung jawab terhadap
kelancaran tugasnya di dalam kelas, terutama dalam menyampaikan materi
pelajaran, menentukan metode belajarnya sendiri, dan menyusun bahan
pelajaran dari waktu ke waktu demi untuk pengembangan siswanya. Namun,
kehidupan guru dewasa ini meminta banyak waktu untuk pekerjaan-pekerjaan
sambilan selepas mengajar di kelas sehingga tidak mungkin menjadi
manajer profesional di kelas.
Sehubungan dengan itu, pertanyaan yang muncul bagaimana mengembangkan
dan meningkatkan profesionalisme guru. Guru profesional adalah guru yang
memiliki kompetensi (standar kompetensi). Dewasa ini telah diajukan
perumusan standar kompetensi guru (khususnya guru pemula) yang
menyangkut 4 standar kompetensi yaitu, (1) standar I (Penguasaan Bidang
Studi), (2) standar II (Pemahaman Tentang Peserta Didik), (3) standar
III (Penguasaan Pembelajaran yang Mendidik), standar IV (Pengembangan
Kepribadian dan Keprofesionalan).
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi guru, maka perhatian serius
dari pihak-pihak pengambil kebijakan sudah selayaknya ditujukan pada
usaha-usaha mencari solusi terhadap hal tersebut dalam peningkatan dan
pengembangan kompetensi guru, manajemen guru, khususnya dalam
rekrutmen, peningkatan dan pengembangan profesi, kesejahtraan, dan
eksisnya organisasi profesi guru untuk pengembangan serta
peningkatannya. Hal ini sangat penting, karena dalam rangka otonomi
daerah, yakni berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, efisiensi
pengelolaan pendidikan, relevansi pendidikan, dan pemerataan pelayanan
pendidikan harus diupayakan melalui peningkatan mutu pendidikan dengan
menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan melalui konsensus
pemerintah dan masyarakat dengan mengarah pada pendidikan berbasis
sekolah (Mulyasa, 2002 dalam Koyan 2004: 6).
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan perlu mendapat
perhatian dan penanganan yang seksama dengan menelusuri factor internal
dan ekternalnya, sehingga mampu menunjukkan jati dirinya, berwibawa dan
dihargai oleh siswa dan masyarakat pada umumnya. Pembinaan
profesionalisme guru hendaknya menjadi perhatian, di samping hal-hal
yang berkaitan dengan kesejahtraannya.
Guru sebagai Profesi
Pembicaraan umum mengenai istilah profesi sering digunakan dalam konteks
yang kurang tepat, dimana ketika suatu pertanyaan diajukan kepada
seseorang tentang apakah profesi anda, banyak yang memberi jawaban
terhadap apa yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, seperti sopir,
tukang, pegawai negeri, dan sebagainya. Menyimak jawaban-jawaban
tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat memahami profesi
sebagai suatu pekerjaan. Padahal tidak semua pekerjaan dapat dikatakan
sebagai suatu profesi.
Menurut Nana Sudjana (dalam Rusyan dan Hamijaya, 1990), mengatakan bahwa
pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan
pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh
pekerjaan lain.
Pendapat lain mengatakan bahwa “profesi menunjuk pada suatu pekerjaan
atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab dan kesetiaan pada
profesi. Suatu profesi secara teori, tidak bisa dilakukan oleh sembarang
orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu” (Supriadi, 1998).
Menurut Cully (dalam Engkoswara, 1992) profesi adalah suatu bidang
pekerjaan yang menuntut digunakannya teknik dan prosedur yang bertumpu
pada landasan intelektual yang secara sengaja harus dipelajari dan
kemudian secara langsung dapat diabdikan bagi kemaslahatan orang lain.
Kemudian Schein dan Kommers (dalam Kartadinata dan Dantes, 1996/1997),
mengemukakan tiga karakteristik suatu pekerjaan dapat dikatakan sebagai
profesi, yakni (a) profesi merupakan suatu pekerjaan dengan aturan yang
sangat khusus yang diperoleh dari peran khususnya dalam masyarakat, (b)
profesi merupakan bidang pekerjaan yang menuntut para pekerjanya
memiliki landasan pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan melalui
pendidikan dan pelatihan dalam waktu yang panjang dan (c) profesi
merupakan bidang pekerjaan yang menuntut para pekerjanya mampu
memberikan pelayanan ahli kepada sasaran pelayanan serta mampu
mengevaluasi sendiri unjuk kerjanya sebagai balikan bagi upaya
pengembangan pelayanan itu sendiri.
Klicman (dalam Dantes, 2004: 2-3) mengajukan dua syarat penting yang
harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional, yaitu harus kompeten
dan memiliki komitmen tinggi. Dari guru yang memiliki kompetensi tinggi
dan komitmen tinggi suatu sekolah dan peserta didik mendapatkan
kontribusi optimal dalam pembelajaran yang dapat berdampak optimal pula
pembentukan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai pada peserta
didik. Sebaliknya dari guru yang berkompetensi rendah dan didukung oleh
komitmen rendah, peserta didik akan mengalami kontaminasi yang
menyesatkan. Oleh karena itulah, profesi guru harus didukung oleh
kompetensi keguruan yang andal serta komitmen yang memadai.
Secara umum, ciri suatu jabatan profesi ada tiga hal, yaitu (1)
expertise, yaitu jabatan yang didasarkan pada keilmuan/keahlian
tertentu, (2) responsibility, yaitu pemberian jasa yang didasarkan pada
keilmuan tersebut yang disertai dengan tanggung jawab demi untuk
kemaslahatan orang lain (penerima jasa), dan (3) collegial organitation,
yaitu terikat pada satu organisasi kesejawatan/profesi. Secara lebih
rinci, Gibson mendeskripsikan ciri profesi sebagai berikut, (1)
masyarakat mengakui layanan yang diberikan, (2) memiliki seperangkat
ilmu yang mendukung profesinya, (3) diperlukan adanya proses pendidikan
tertentu, (4) dimilikinya mekanisme untuk menyaring sehingga mereka yang
dianggap kompeten boleh melakukan pekerjaan profesional tersebut, dan
(5) dimilikinya organisasi profesional untuk melindungi kepentingan
anggotanya dan meningkatkan mutu layanannya kepada masyarakat, termasuk
kode etik profesional.
Dari beberapa pendapat di atas, suatu pekerjaan dapat disebut sebagai
suatu profesi, apabila orang yang melakukan pekerjaan itu telah
mengalami proses pendidikan dan pelatihan, sehingga telah memiliki
kesiapan dan keahlian untuk melakukan pekerjaan tersebut. Jadi, suatu
profesi berbeda dengan pekerjaan lainnya karena suatu profesi menuntut
suatu pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh melalui proses
pendidikan dan pelatihan yang khusus untuk itu, dan dalam jangka waktu
yang lama serta menuntut untuk mampu mengadakan evaluasi diri sebagai
balikan bagi pengembangan profesinya.
Guru sebagai suatu profesi membawa konsekuensi terhadap tanggung jawab
untuk mengembangkan dan mempertahankan profesi tersebut. Tanggung jawab
ini, pada dasarnya merupakan tuntutan dan panggilan untuk selalu
mencintai, menghargai, menjaga, dan meningkatkan tugas serta tanggung
jawab profesinya. Tenaga kependidikan hendaknya sadar bahwa tugas dan
tanggung jawabnya tidak bisa dilakukan oleh orang lain, kecuali oleh
dirinya. Guru hendaknya di samping mampu tampil di depan kelas, juga di
masyarakat, baik sebagai pendidik, inovator ataupun dinamisator.
Dilihat dari tugas dan tanggung jawab tenaga kependidikan (guru), maka
untuk menyandang pekerjaan dan jabatan tersebut dituntut beberapa
persyaratan, antara lain, (a) menuntut adanya keterampilan yang
berlandaskan konsep pengetahuan yang mendalam, (b) menekankan pada suatu
keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya, (c)
menuntut adanya tingkat pendidikan tinggi, (d) adanya kepekaan terhadap
dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya, dan (e)
memungkinkan pengembangan sejalan dengan dinamika kehidupan (Ali dalam
Rusyan dan Hamijaya, 1992 ).
Bertolak dari persyaratan di atas, tampaklah dengan jelas bahwa untuk
suatu jabatan profesional harus melalui jenjang pendidikan yang
mempersiapkannya dengan bekal pengetahuan, nilai-nilai dan sikap serta
keterampilan yang sesuai dengan profesinya. Demikian pula dengan profesi
guru. Guru yang professional dituntut memiliki, (a) kualifikasi
pendidikan profesi yang memadai, (b) memiliki kompetensi keilmuan sesuai
dengan bidang yang ditekuni, (c) memiliki kemampuan berkomunikasi yang
baik dengan anak didiknya, (d) mempunyai jiwa kreatif dan produktif, (e)
mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya dan (f)
selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (Sidi, 2001).
Hal yang senada dikemukakan oleh Supradi dalam Hasan, 2003), bahwa untuk
menjadi guru yang profesional, dituntut memiliki lima hal, yakni, (a)
guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (b) guru
menguasai secara mendalam bahan / mata pelajaran yang diajarkannya dan
cara mengajarnya kepada siswa, (c) guru bertanggung jawab memantau hasil
belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (d) guru mampu berpikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
dan (e) guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya.
Dari beberapa pendapat di atas, seorang guru yang profesional, di
samping dituntut memiliki kemampuan akademik, juga menguasai berbagai
pengetahuan, khususnya materi pelajaran yang diajarkannya serta
dilandasi oleh adanya komitmen, disiplin dan rasa tanggung jawab yang
tinggi terhadap tugas dan pelaksanaannya.
Tugas Guru
Di masyarakat sering terjadi ketika murid berperilaku tidak baik, apakah
hal tersebut dilakukan di luar sekolah apalagi di sekolah akan terjadi
tudingan terhadap guru dan sekolah (pendidikan formal) yang tidak
berhasil melaksanakan tugasnya. Sesungguhnya di masyarakat, ada dua
lembaga pendidikan yang harus juga secara serius dapat mengupayakan hal
tersebut, yakni pendidikan dalam keluarga (pendidikan formal),
pendidikan di masyarakat (pendidikan nonformal).
Sehubungan dengan itu pengetahuan tentang fungsi dan peranan tenaga
kependidikan perlu dipahami oleh guru karena hal ini akan memberi
pengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Dengan memahami
fungsi dan peranannya diharapkan para guru terhindar dari
kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari tugas profesinya.
Adapun fungsi dan peranan tenaga kependidikan, dikemukakan oleh Tabrani
dan Hamijaya (1992), sebagai berikut, (a) tenaga kependidikan sebagai
pendidik dan pengajar, (b) tenaga kependidikan sebagai anggota
masyarakat, (c) tenaga kependidikan sebagai pemimpin, (d) tenaga
kependidikan sebagai pelaksana administrasi, dan (e) tenaga kependidikan
sebagai pengelola proses belajar mengajar.
Mengacu pada fungsi dan peranan guru, seorang guru dituntut untuk
memiliki kemampuan berupa pengetahuan tentang masalah-masalah
kependidikan, seperti, landasan umum kependidikan, kurikulum, metode
mengajar, psikologi (meliputi, psikolog pendidikan, psikologi sosial,
psikologi anak, psikologi perkembangan, dan psikologi belajar),
kemampuan mengelola pembelajaran, memiliki kepribadian yang baik,
menguasai ilmu kepemimpinan, dan sebagainya yang menunjang keefektifan
fungsi dan peranannya.
Terkait dengan tugas guru, Usman (1990) mengemukakan bahwa tugas guru
yang profesional, setidak-tidaknya mengemban tiga tugas pokok, yakni,
(a) sebagai petugas profesional, yang meliputi kegiatan mendidik,
mengajar dan mengembangkan keterampilan, (b) tugas kemanusiaan, yaitu
guru menjadi orang tua yang kedua. Tugasnya sebagai individu yang mampu
merealisasikan seluruh kemampuan dirinya, melakukan auto identifikasi
dan auto pengertian untuk dapat menempatkan dirinya di dalam keseluruhan
kemanusiaan serta mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para
siswa serta mentransformasikan diri terhadap kenyataan di kelas atau di
masyarakat, (c) tugas kemasyarakatan, yaitu mendidik dan mengajar
masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral Pancasila
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejalan dengan pendapat di atas, Yoesoef (1989) mengungkapkan tentang
tugas guru, yakni, (a) melaksanakan tugas mendidik dan mengajar, (b)
melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan (c) melaksanakan tugas
pertanggungjawaban kemanusiaan.
Secara umum yang terkait erat dengan tugas profesional guru adalah mengajar, mendidik, dan membimbing siswa.
Guru sebagai Pengajar
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa mengajar merupakan kegiatan
yang “transfer of knowledge” melalui aktivitas belajar mengajar. Zamroni
(2003), mengatakan bahwa mengajar merupakan suatu seni untuk
mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diarahkan
oleh nilai-nilai pendidikan, kebutuhan-kebutuhan individu siswa, kondisi
lingkungan dan keyakinan yang dimiliki guru
Untuk dapat melakukan kegiatan ini, guru hendaknya memiliki kemampuan
untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan belajar
mengajar untuk memperoleh balikan dari kegiatan pembelajaran yang telah
dilaksanakan. Merencanakan kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan
awal dari guru sebelum memasuki kelas atau mengajar. Dalam menyusun
rancangan pengajaran, maka rencana yang disusun meliputi antara lain,
perencanaan di bidang pengorganisasian bahan pengajaran, pengelolaan
kegiatan belajar mengajar, penggunaan media pembelajaran, metoda
mengajar, dan penilaian hasil belajar.
Dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya memiliki
kemampuan mengajar yang baik. Adapun kemampuan yang dimaksud meliputi,
penggunaan metode, media, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan,
melakukan komunikasi dengan siswa, mendemonstrasikan khazanah metode
mengajar, mendorong dan menggalakkan keterlibatan siswa dalam
pengajaran, mendemonstrasikan penguatan mata pelajaran dan relevansinya,
pengorganisasian ruang, waktu dan perlengkapan pengajaran, melaksanakan
evaluasi pencapaian siswa dalam proses belajar mengajar (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1982/1983).
Sebagai akhir dari kegiatan belajar mengajar yang tidak kalah pentingnya
adalah memberikan balikan. Menurut Stone dan Nielson (dalam Ali, 1992)
mengatakan bahwa balikan mempunyai fungsi untuk membantu siswa
memelihara minat dan antusias siswa dalam melaksanakan tugas belajar.
Hal ini menjadi penting karena suatu alasan bahwa belajar itu ditandai
dengan adanya keberhasilan dan kegagalan. Keberhasilan dalam
pembelajaran akan memberikan semangat bagi siswa untuk mempertahankan
dan meningkatkan prestasinya, sedangkan kegagalan akan mendorong siswa
lebih giat belajar untuk tidak mengulangi kegagalannya. Upaya untuk
memberikan balikan ini dapat dilakukan dengan mengadakan penilaian atau
evaluasi hasil belajar siswa.
Penilaian merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran karena
dari kegiatan ini dapat diketahui kegagalan dan keberhasilan dari
kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Disamping itu, penilaian
merupakan salah satu cara untuk memotivasi siswa untuk belajar karena
bagaimanapun seorang siswa tidak menginginkan mendapatkan hasil yang
tidak memuaskan, dan oleh karenanya mereka akan berusaha mencapai sukses
itu dengan belajar.
Daradjat (1980) mengemukakan tentang hal-hal yang harus diperhatikan
guru dalam proses belajar-mengajar, sebagai berikut, (a) kegairahan dan
kesediaan (siswa ) untuk belajar, (b) membangkitkan minat murid, (c)
menumbuhkan sikap dan bakat yang baik, (d) mengatur proses belajar
mengajar, (e) berpindahnya pengaruh belajar dan pelaksanaannya ke dalam
kehidupan nyata, dan (f) hubungan manusiawi dalam proses belajar.
Mutu pendidikan dapat tercapai, seorang guru yang professional harus
memiliki lima kemampuan dasar, yakni, (a) guru harus menguasai kurikulum
dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), (b) guru harus
menguasai materi setiap mata pelajaran, (c) guru harus menguasai
multimetode, multimedia, dan evaluasi, (d) guru harus komitmen terhadap
pelaksanaan tugas, dan (e) guru harus disiplin (Depdikbud, Dirjen
Dikdasmen , 1998/1999 ).
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah masih sangat terbatas
memberikan peluang bagi guru-guru dalam upaya meningkatkan SDM. Hal ini
terlihat dari terbatasnya peluang dan anggaran yang dialokasikan untuk
pengembangan guru. Sementara masyarakat selalu menuntut guru yang
berkualitas.
Guru sebagai Pendidik
Antara mendidik dan mengajar hampir sulit untuk dibedakan, tetapi
diamati secara cermat, kedua kegiatan tersebut memiliki wilayah kerja
yang sedikit berbeda. Guru dikatakan tidak saja semata-mata sebagai
“pengajar” yang transfer of knowledge, tetapi juga sebagai “pendidik”
yang transfer of value dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan
pengarahan dan menuntun murid dalam belajar (Sardiman, 1990).
Jika diperhatikan definisi di atas, mendidik merupakan tugas guru yang
lebih banyak mengarahkan pada segi-segi pengembangan nilai-nilai atau
norma-norma. Dalam hal ini, siswa diharapkan mampu berperilaku yang
positif, berkepribadian yang baik, berbudi pekerti luhur, baik berarti
bagi kehidupan individu siswa di sekolah ataupun di masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, guru dituntut memiliki
kesabaran dan kestabilan emosi karena akan menghadapi siswa dari
berbagai latar belakang atau lapisan masyarakat yang memiliki corak
sosial budaya yang beraneka ragam. Guru hendaknya senang memberi bantuan
dalam memecahkan masalah yang dihadapi siswa, besikap ramah, gembira,
baik hati, terbuka, simpati, empati, berwibawa, dan bertanggung jawab.
Dari kepribadian yang dinilai baik oleh siswa tersebut, maka seorang
guru akan dapat mengembangkan kegiatannya dalam bentuk, (a) membantu
mengembangkan sikap positif pada siswa, (b) bersikap terbuka dan luwes
terhadap siswa dan orang lain, (c) menunjukkan kegairahan dan
kesungguhan dalam kegiatan belajar mengajar dan dalam pelajaran yang
diajarkan, dan (d) mengelola interaksi pribadi dalam kelas (Depdikbud,
1982/1983).
Dari uraian di atas, dapat disarikan bahwa tugas mendidik merupakan
suatu aktivitas yang ditujukan untuk mengembangkan aspek psikologis dan
kepribadian peserta didik, sehingga mereka terbentuk sebagai
manusia-manusia yang berkepribadian baik, mempunyai etika, bermoral,
bertanggung jawab, dan mampu hidup bersama dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Guru sebagai Pembimbing
Guru, di samping sebagai pendidik dan pengajar juga sekaligus bertindak
sebagai pembimbing, yakni memberi layanan bantuan kepada siswa dalam
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi siswa, baik yang menyangkut
masalah kegiatan belajar, pemahaman diri, penyesuaian diri ataupun
masalah-masalah lainnya sehingga mereka mampu mengembangkan dirinya
secara optimal. Guru yang melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan
pengajar, seringkali melakukan kegiatan bimbingan, misalnya bimbingan
belajar, bimbingan dalam menguasai suatu keterampilan, dan terkait
dengan kegiatan materi pembelajaran yang diajarkan saat itu. Jadi,
antara mendidik, mengajar dan membimbing merupakan tugas guru yang tidak
dapat dipisah-pisahkan.
Sardiman (2001), mengemukakan pengertian membimbing sebagai suatu
kegiatan untuk menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan
memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Terkait dengan itu, guru diharapkan mampu memberi arahan atau tuntunan
kepada anak didiknya sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma-norma yang
baik dan mengarahkan perkembangannya sesuai dengan cita-citanya, serta
membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Melalui kegiatan
membimbing ini, siswa diharapkan mampu mencapai perkembangan dirinya
dengan lebih baik.
Peningkatan dan Pengembangan Profesionalisme Guru
Dalam meningkatkan mutu pendidikan, dituntut pula adanya usaha-usaha
peningkatan profesionalisme guru agar dapat memberikan pelayanan yang
lebih berkualitas dan untuk tercapainya hasil belajar yang lebih
optimal.
Seorang guru professional, yang mempunyai standar kompetisi I
(Penguasaan Bidang Studi), seyogianya seperti apa yang dikatakan Nana
Sudjana, pekerjaan yang bersifat professional hanya dapat dilakukan oleh
mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu. Demikian juga pendapat
Supriadi, bahwa profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang
menuntut keahlian, tanggung jawab dan kesetiaan pada profesi. Cully,
mengatakan bahwa profesi adalah suatu bidang pekerjaan yang menunutut
digunakannya teknik dan prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual
yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara langsung dapat
dikatakan bagi kemaslahatan orang lain.
Sehubungan dengan itu, seperti apa yang dikatakan oleh Schein dan
Kommers, profesi merupakan bidang pekerjaan yang menuntut para
pekerjanya memiliki landasan pengetahuan dan keterampilan yang
didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan dalam waktu yang panjang.
Peningkatan kemampuan guru dapat dilakukan secara struktural ataupun
atas inisiatif guru itu sendiri yang dilakukan melalui berbagai
kegiatan, seperti penataran, seminar, kursus, melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi, belajar sendiri atau membaca berbagai sumber
belajar.
Terkait dengan guru sebagai profesi, maka untuk menghindarkan
praktik-praktik yang menyimpang dalam pelaksanaan tugasnya, maka guru
dituntut untuk selalu mendasarkan diri pada aturan (kode etik profesi),
yang sudah dirumuskan, yakni, (a) guru berbakti membimbing anak didik
seutuhnya untuk membentuk manusia yang ber-Pancasila, (b) guru memiliki
kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan
anak didik masing-masing, (c) guru mengadakan komunikasi, terutama
dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri
dari segala bentuk penyalahgunaan, (d) guru menciptakan suasana
kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid
sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik, (e) guru memelihara hubungan
baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya ataupun masyarakat yang
lebih luas utnuk kepentingan pendidikan, (f) guru secara sendiri
dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan serta meningkatkan mutu
profesinya (g) guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama
guru, baik berdasarkan lingkungan kerja ataupun di dalam hubungan
keseluruhan, (h) guru secara bersama-sama memelihara, membina dan
meningkatkan mutu organisasi guru professional sebagai sarana
pengabdiannya, dan (i) guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan (Sardiman, 2001 ).
Secara terorganisir, usaha peningkatan dan pengembangan profesionalisme
guru ini dapat dilakukan secara serius dan terjadwal melalui kegiatan
Kelompok Kerja Guru (KKG), untuk guru-guru Sekolah Dasar dan Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), bagi guru-guru SMP dan SMA/SMK. Adapun
kegiatan yang dilaksanakan, di antaranya, (a) memecahkan permasalahan
kegiatan belajar mengajar, (2) memecahkan permasalahan kesulitan belajar
peserta didik, (3) memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan
penyusunan program pembelajaran (Tahunan/Semesteran), (d) memecahkan
permasalahan mengenai pelaksanaan proses belajar mengajar, dan (e)
penyusunan alat evaluasi
Hal ini akan berimplikasi, bila guru profesional yang memiliki
kompetensi tinggi dan komitmen tinggi akan memberikan kontribusi optimal
terhadap sekolah ataupun peserta didik dalam proses pembelajaran, baik
dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan nilai,
demikian juga sebaliknya.
Sehubungan dengan guru sebagai jabatan profesional dengan tuntutan
tanggungjawab yang begitu besar, maka mulai dari rekrutment calon guru
hendaknya dilakukan seleksi yang memadai. Selanjutnya, dilakukan
peningkatan dan pengembangan profesionalisme guru dengan lebih serius di
antaranya melalui studi lanjut, seminar, loka karya, workshop,
pelatihan, dan sejenisnya secara berkala serta berkesinambungan.
Kegiatan-kegiatan di atas, secara struktural dilakukan
pembinaan-pembinaan guru oleh Kepala Sekolah, Pengawas dan dari aparat
dinas pendidikan, termasui organisasi profesi guru, seperti Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar