Objek Evaluasi Pendidikan
Evaluasi merupakan media untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu
program. Istilah lain yang dipakai adalah measurement yakni pengukuran
untuk mengetahui keadaan terhadap sesuatu. Dalam melakukan suatu
evaluasi harus memakai ukuran-ukuran tertentu atau indikator-indikator
yang jelas sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Misalnya,untuk mengukur panjang sesuatu, maka yang dipakai adalah meter,
untuk mengukur berat sesuatu maka alat ukurnya adalah timbangan,
thermometer untuk suhu badan dan untuk mengukur kamampuan seseorang
manghapal Alquran di luar kepala alat ukurnya adalah hapalan dan
lain-lain. Selain istilah di atas,terdapat istilahlain yang biasa
dipergunakan untuk evaluasi seperti penilaian, ujian, ulangan dan lain
sebagainya.
Dalam melakukan evaluasi,harus terdapat sasaran yang jelas. Evaluasi
dalam pendidikan sasarannya adalah segala sesuatu yang bertalian dengan
kegiatan atau proses pendidikan yang dijadikan titik pusat perhatian
atau pengamatan, karena pihak penilai atau evaluator ingin memperoleh
informasi tentang kegiatan atau proses pendidikan tersebut. Oleh karena
itu, kegiatan evaluasi memiliki arti penting dalam dunia pendidikan
untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang telah dicapai. Untuk dapat
mengukur tingkat keberhasilan, maka pertanyaan yang sering muncul
sebelum melakukan penilaian ialah apa yang harus dinilai. Terhadap
pertanyaan ini, maka kita kembali kepada unsur-unsur yang terdapat dalam
proses pembelajaran. Ada beberapa unsure utama yang terdapat dalam
proses pembelajaran yakni, tujuan, bahan, metode, dan alat serta
penilain.
Tujuan sebagai arah dari proses pembelajaran, pada hakekatnya adalah
rumusan hasil-hasil yang harus dicapai setelah proses pembelajaran
berakhir atau rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh
peserta didik setelah menempuh pengalaman belajarnya. Bahan adalah
seperangkat pengetahuan yang harus dimilki oleh seorang peserta didik
yang dijabarkan dalam bentuk kurikulum dan disampaikan dalam proses
pembelajaran dengan target pencapaian tertentu. Metode dan alat adalah
cara atau teknik yang dipergunakan untuk tujuan yang direncanakan dari
awal. Sedangkanpenilaian adalah upaya atau tindakan yang dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditargetkan tercapai atau
tidak. Oleh karena itu,penilaian ini merupakan alat untuk mengukur
apakah suatu program tercapai atau tidak.
Dalam melakukan evaluasi,ada dua aspek yang memegang peranan penting,
yaitu subjek dan objek. Pada makalahini hanya menguraikan secara singkat
subjek evaluasi. Objek atau sasaran evaluasi adalah segala sesuatu yang
menjadi titik pusat pengamatan karena penilai menginginkan informasi
tentang sesuatu tersebut sehingga hasilnya dapat diketahui
Objek Evaluasi
Sebelum dilakukan evaluasi,tentu didahului oleh proses. Nana Sudjana
mengatakan bahwa proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam
mencapai tujuan pendidikan, sedangkan hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya.
Horward Kingley sebagaimana yang dikutip oleh Nana Sudjana membagi tiga
macam hasil belajar yaitu:(a) keterampilan dan kebiasaan, (b)
pengetahuan dan pengertian, dan (c) sikap dan cita-cita. Tiap-tiap jenis
hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam
kurikulum.
Selanjutnya,Nana Sudjana mengutip pendapat Gagne yang membagi lima
kategori hasil belajar yaitu:(a) informasi verbal, (b) keterampilan
intelektual, (c) stra-tegi kognitif, (d) sikap,dan (e) keterampilan
motoris. Dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan
tampaknya mengacu kepada klasifikasi hasil belajar rumusan Benyamin
Bloom yang secara garis besarnya membaginya ke dalam tiga ranah yaitu:
kognitif, afektif, dan psikomotoris. Secara rinci disebutkan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mencermati
rumusan tujuan pendidikan menurut undang-undang, maka secara garis
besar ada tiga aspek yang dinilai yaitu:kognitif, afektif, dan
psikomotoris, dan selanjutnya diuraikan satu persatu sebagai berikut:
1. Ranah Kognitif
Sebelum mengukur sesuatu, terlebih dahulu kita harus memiliki batasan
tertentu seperti: a)Mengidentifikasi orang yang hendak diukur,
b)Mengidentifikasi karakteristik (sifat-sifat) khas orang yang hendak
diukur,c)Menetapkan prosedur yang hendak dipakai untuk dapat memberikan
angka- angka pada karakteristik tersebut.
Istilah kognitif berasal dari kata cognition artinya tindakan atau
proses untuk mendapatkan/mengetahui sesuatu dengan rasio atau intuisi.
Dengan demikian, kognisi adalah perolehan pengetahuan oleh seseorang.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi kognisi yang merupa- kan wilayah atau domain
psikologis manusia yang meliputi setiap prilaku dan mental manusia yang
berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, dan
kesengajaan. Dengan istilah lain, aspek kognitif merupakan bagian dari
kognisi yang merupakan disiplin psikologi yang khusus membahas tentang
penelitian dan pembahasan psikologi, termasuk di dalamnya proses
penerimaan, pengolahan, penyimpanan, dan perolehan kembali informasi
dari sistem memori (akal)manusia.
Dalam pembahasan tentang rana kognitif, terdapat beberapa tipe yang
menjadi pokok bahasannya sebagimana yang ditawarkan oleh Nana Sudjana
yaitu:
a. Tipe Hasil Belajar: Pengetahuan
Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge
dalam taksonomi Bloom. Sekalipun demikian, maknanya tidaklah sepenuhnya
benar, sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual di
samping pengetahuan hapalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan,
definisi, istilah, pasal dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-nama
kota yang kalau ditransfer kedalam sistem pembelajaran agama merupakan
hapalan terhadap ayat-ayat, hadis-hadis, kaidah dan sebagainya.
Sebagian ahli mengatakan bahwa tipe hasil belajar seperti ini termasuk
kategori kognitif tingkat rendah. Meskipun demikian, tipe ini merupakan
prasyarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hafalan menjadi prasyarat
bagi pemahaman, dan hal ini berlaku bagi semua bidang studi. Inilah
barangkali yang mengilhami beberapa ulama besar dalam Islam sehingga
banyak yang menghapal keislaman lebih mendalam. Mereka dalam
mengemukakan argumen sangat kuat karena telah meghapal ayat-ayat atau
hadis-hadis serta kaidah-kaidah. Hal ini juga berlaku dalam ilmu eksakta
bahwa seseorang harus menghapal rumus-rumus matematika misalnya
sehingga memudahkan melakukan analisis terhadap sesuatu. Dalam menyusun
item tes hapalan menurut para ahli tidaklah terlalu sukar, karena
tinggal meminta untuk menyebutkan apa yang dikehendaki oleh si pembuat
petanyaan. Akibatnya banyak para penyusun tes hasil belajar, secara
tidak sengaja tergelincir atau terperosok masuk ke dalam kawasan ini
Menurut Nana Sudjana bahwa tes yang paling banyak dipakai untuk
mengungkapkan aspek pengetahuan adalah tipe melengkapi, tipe isian, dan
tipe banar-salah, karena lebih mudah menyusunnya, sehingga banyak
pembuat tes memilih tipe ini.
Kelemahan tipe ini karena terkadang kurang dipersiapkan dengan baik dan
tergesa-gesa dalam membuat tes sehingga sering terjebak ke dalam
pengungkapan pengetahuan hafalan saja. Aspek yang ditanyakan biasanya
hanya fakta-fakta seperti nama orang, ibukota, defenisi dan lain
sebagainya, dan hanya dituntut kesanggupan mengingatnya sehingga
akibatnya jawabannya mudah ditebak.
b. Tipe Hasil Belajar: Pemahaman
Para ahli mengatakan bahwa tipe hasil yang lebih tinggi daripada
pengetahuan adalah pemahaman. Misalnya seorang murid menjelaskan dengan
susunan kalimatnya sesuai dengan hasil pemahamannya terhadap apa yang
didengar, yang dibaca, memberi contoh lain dari yang dicontohkan, atau
memberi contoh kasus yang lain. Kesanggupan memahami setingkat lebih
tinggi dari pengetahuan. Dari hasil belajar tersebut, diharapkan
terjadinya perubahan prilaku terjadi pada peserta didik. Menurut E.
Mulyasa bahwa pada umumnya hasil belajar akan memberikan pengaruh dalam
dua bentuk: (a) peserta didik akan mempunyai perspektif terhadap
kekuatan dan kelemahannya atas prilaku yang diinginkan, dan (b) mereka
mendapatkan bahwa prilaku yang diinginkan itu telah meningkat, baik
setahap ataupun dua tahap, sehingga dari proses ini terjadi perubahan
peningkatan dari tahap pengetahuan ke tahap pemahaman.
Nana Sudjana membagi pemahaman ke dalam tiga kategori. Pertama, tingkat
terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam arti
yang sebenarnya, misalnya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia,
mengartikan bendera merah puti dan lain sebagainya. Kedua, pemahaman
penafsiran, menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui
berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan
kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok. Ketiga, atau
tingkat tertinggi adalah pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi
diharapkan seseorang mampu melihat di balik yang tertulis, dapat
memperluas persepsi terhadap sesuatu sehingga ia dapat mengembangkan
makna yang terkandung dalam sutau pernyataan.
c. Tipe Hasil Belajar: Aplikasi
Yang dimaksud aplikasi dalam hal ini adalah penggunaan abstraksi pada
situasi kongkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut bisa berupa
ide, teori atau petunjuk teknis. Menerapkan abstraksi ke dalam situasi
baru disebut aplikasi. Mengulang-ulang menerapkannya pada situasi lama
akan beralih menjadi pengetahuan hapalan atau keterampilan. Suatu
situasi tetap dianggap sebagai situasi baru apabila tetap terjadi
pemecahan masalah. Kecuali itu, ada unsur lagi yang perlu masuk, yaitu
abstraksi tersebut perlu berupa prinsip atau generalisasi, yakni sesuatu
yang umum sifatnya untuk diterapkan pada situasi khusus
d.Tipe Hasil Belajar: Analisis
Tipe hasil belajar ini merupakan usaha memilah suatu integritas menjadi
unsur- unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan atau
susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang kompleks, yang
memanfaatkan kecakapan dari tige tipe sebelumnya. Dengan analisis,
diharapkan seseorang memiliki pemahaman yang komprehensif dan dapat
memilahkan integritas menjadi bagian-bagian yang tetap terpadu, untuk
beberapa hal memahami prosesnya, untuk hal lain memahami cara kerjanya.
Apabila seseorang kecakapan analisis tersebut telah dimiliki seseorang,
maka ia akan dapat mengaplikasikannya pada situasi baru secara kreatif.
e. Tipe Hasil Belajar: Sintesis
Sintesis merupakan penyatuan unsur-unsur atau bagiann bagian ke dalam
bentuk menyeluruh. Beberapa tipe sebelumnya telah disebutkan seperti
pengetahuan hafalan, berpikir pemahaman, berpikir aplikasi, dan analisis
dapat dipandang sebagai berpikir konvergen yang satu tingkat lebih
rendah daripada berpikir divergen. Dalam berpikir konvergen pemecahan
atau jawabannya akan sudah diketahui berdasarkan yang sudah dikenalnya.
Sedangkan berpikir sintesis disebut divergen. Dalam berpikir divergen
pemecahan atau jawabannya belum dapat dipastikan. Mensintesiskan
unit-unit tersebut tidak sama dengan mengumpulkannya ke dalam
kelompok-kelompok besar. Berpikir sintesis merupakan salah satu terminal
untuk menjadikan orang lebih kreatif. Sedangkan berpikir merupakan
salah satu hasil yang hendak dicapai dalam pendidikan. Seseorang kreatif
sering menemukan atau menciptakan sesuatu yang baru.
f. Tes Hasil Belajar Evaluasi
Secara umum evaluasi diartikan sebagai penilaian/penaksiran terhadap
pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam hukum16 dan hasil penilaian/evaluasi dapat dinyatakan
secara kualitatif atau pun kuantitaif. Dengan demikian, evaluasi
merupakan pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang boleh jadi
dilihat dari sisi tujuan, cara bekerja, pemecahan, metode, materil dan
lain-lain. Dilihat dari segi ini, maka dalam melakukan evaluasi perlu
adanya suatu kriteria yang jelas dan terukur atau memiliki standar
tertentu. Satu contoh tes dalam bentuk essay, standar atau kriteria
tersebut muncul dalam bentuk frase “menurut pendapat saudara” atau
“menurut teori tertentu“. Frase pertama agak sulit menilai mutunya
karena lingkup variasi kriterinya sangat luas. Sedangkan frase kedua
agak lebih lebih mudah karena jelas standarnya yaitu adanya menunjuk
teori tertentu. Jadi, dalam menyusun item tes hendaknya menyebutkan
kriteria secara eksplisit. Dalam mengetes kecakapan evaluasi, Nana
Sudjana menawarkan setidak- tidaknya enam kategori harus dimiliki
seseorang yaitu:
- Dapat memberikan evaluasi tentang ketepatan suatu karya atau dokumen.
- Dapat memberikan evaluasi satu sama lain antara asumsi, evidensi, dan kesimpulan. Dengan kecakapan ini, diharapkan seseorang mampu mengenal bagian-bagian serta keterpaduannya.
- Dapat memahami nilai serta sudut pandang yang dipakai orang dalam mengambil suatu keputusan.
- Dapat mengevaluasi suatu karya dengan memperbandingkannya dengan karya lain yang relevan.
- Dapat mengevaluasi suatu karya dengan menggunakan suatu kriteria yang telah ditetapkan.
- Dapat mengevaluasi suatu karya dengan menggunakan sejumlah criteria yang eksplisit.
Hasil belajar di bidang evaluasi tidak hanya meliputi aspek kognitif,
tetapi juga meliputi apektif dan psikomotoris. Untuk melengkapi hasil di
atas, berikut uraian tentang hasil belajar afektif.
2. Ranah Afektif
Afektif, merupakan ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Sebagian
ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya
apabila sese- orang memiliki penguasaan kognitif yang tinggi. Dalam
kasus ujian nasional, setiap kali diselenggarakan oleh pemerintah sangat
menonjol bahwa yang menjadi prioritas penilaian hanya mengukur ranah
kognitif dan hampir melupakan ranah afektif. Ranah ini terkadang kurang
mendapat perhatian dari pemerintah. Memang para ahli mengakui bahwa
alat-alat untuk mengukur segi afektif sangat sukar dikembangkan. Hal
tersebut disebabkan karena sulitnya membuat pertanyaan yang berkaitan
dengan afektif siswa terhadap mata pelajaran. Salah satu contoh soal
kalau membuat pertanyaan ranah kognit adalah seperti, “apa yang dapat
dilakukan oleh peserta didik”, maka kalau soal dari segi ranah
afektifnya pertanyaannya adalah seperti “apa yang mau dilakukan oleh
peseta didik.” Sebagai akibat dari sulitnya membuat pertanyaan yang
bersifat afektif, maka para guru lebih banyak menilai ranah kognitif
semata. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai
tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi
belajar, menghargai guru, dan teman-teman sekelas, kebiasaan belajar,
dan hubungan sosial. Daryanto mengemukakan ranah afektif meliputi lima
kemampuan yaitu:
- Menerima (receiving). Dalam kondisi ini, peserta didik memiliki kesediaan atau kemauan untuk ikut dalam fenomena atau stimulus khusus (kegiatan dalam kelas, musik, baca buku dan lain sebagainya). Sikap ini memperlihatkan adanya minat peserta didik untuk melakukan sesuatu.
- Menjawab (responding). Kondisi ini berkaitan dengan partisipasi peserta didik. Pada tingkat ini, peserta didik tidak hanya menghadiri suatu fenomena tertentu, tetapi juga mereaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Hasil belajar dalam jenjang ini dapat menekankan kemauan untuk menjawab (misalnya secara sukarela membaca buku tanpa ditugaskan) atau kepuasan dalam menjawab (misalnya untuk kenikmatan atau kegembiraan.)
- Menilai (valuing). Jenjang ini bertalian denga nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu objek, fenomena, atau tingkah laku tertentu. Jenjang ini mulai dari hanya sekedar penerimaan nilai (ingin memperbaiki keterampilan kelompok) sampai ke tingkat komitmen yang lebih tinggi (menerima tanggung jawab untuk fungsi kelompok yang lebih efektif).
- Organisasi (organization). Tingkat ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan/memecahkan konflik di antara nilai-nilai itu dan mulai membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal.
- Karakteristik dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization by a value or value compelx). Pada jenjang ini, individu memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”. Jadi, tingkah lakunya menetap, konsisten, dan dapat diramalkan. Hasil belajar meliputi sangat banyak kegiatan, tetapi penekanan lebih besar diletakkan pada kenyataan bahwa tingkah laku itu menjadi ciri khas atau karakteristik peserta didik.
3. Ranah Psikomotoris
Kesempurnaan ranah psikomotoris dapat diukur dari sejauhmana rana
kognitf dan afektif memberi pengaruh yang signifikan. Kecakapan
psikomotis seseorang adalah segala keterampilan aktifitas jasmaniah yang
kongkrit dan mudah diamati, baik kuantitasnya maupun kualitasnya,
karena sifatnya sangat terbuka untuk diamati. Kecakapan psikomotoris
peserta didik merupakan manifestasi wawasan pengetahuan yang dimiliki
dengan tingkat kesadaran, sikap mental, dan keterampilannya. Dalam
pendidikan Islam, penilaian terhadap aspek psikomotorisnya terutama
ditekankan pada unsur pokok prilaku beribadah seseorag, misalnya salat,
puasa, naik haji, membaca Alquran, dan semisalnya.
Evaluasi dalam aspek psikomotoris dapat dibagi atas lima taraf, yaitu:
(a) persepsi, yaitu mencakup kemampuan menafsirkan rangsangan, (b)
kesiapan yakni mencakup tiga aspek yaitu: intelektual, fisis, dan
emosional, (c) gerakan terbimbing, yakni kemampuan yang merupakan bagian
dari keterampilan yang lebih kompleks, (d) gerakan terbiasa yakni
terampil melakukan suatu perbuatan, dan (e) gerakan kompleks, yakni
melakukan perbuatan motoris yang kompleks dengan lancar, luwes, gesit,
atau lincah.
Versi lain membagi hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk
keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu ke dalam enam
tingkatan keterampilan yaitu:
- Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar).
- Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.
- Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual auditif,motoris, dan lain-lain.
- Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan.
- Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks.
- Kemampuan yang berkenan dengan komunikasi.
Hasil belajar yang dikemuakan di atas sebenarnya tidak berdiri sendiri,
tetapi selalu memiliki keterkaitan anatara satu dengan yang lainnya.
Misalnya, seseorang yang kognisinya baik, maka sangat mungkin sikap
afektifnya dan psikomotorisnya juga akan meningkat.
Dengan demikian di ketahui objek-objek evaluasi dalam pendidikan adalah
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Adapun cara
mengevaluasinya adalah dengan menyesuaikan objek penilaian dalam
pendidikan. Kalau yang dinlai adalah kognitif, maka dibuat alat evaluasi
untuk mengetahui tingkat penguasaan peserat didik terhadap bahan
pembelajaran,kalau afektifnya maka dinlihat sikap peserta didik terhadap
apa yang ditugaskan dan jika psikomotorisnya, maka dilihat sejauhmana
peserta didik dapat mempraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari apa
yang telah diajarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar