Dimensi Moral Dalam Pendidikan Kewarganegaraan
Kebijakan tentang diberikannya pendidikan moral atau budi pekerti bagi
para siswa pernah ditetapkan oleh Mendiknas Yahya Muhaimin beberapa
tahun yang lalu. Kebijakan tersebut dipandang sebagai upaya strategis
guna memperbaiki moralitas bangsa. Oleh berbagai kalangan, kondisi
moralitas bangsa yang carut marut dianggap sebagai penyebab utama
timbulnya krisis multi dimensi.
Sementara itu di kalangan masyarakatpun, terutama para orang tua, telah
lama muncul kerisauan terhadap fenomena pendidikan yang kurang memberi
perhatian pada pendidikan moral atau budi pekerti. Adalah wajar jika
masyarakat kemudian menggugat tanggung jawab institusi pendidikan atas
maraknya berbagai kasus kenakalan remaja, mulai dari kasus yang ringan
hingga yang berat. Namun demikian, institusi pendidikan tentu bukan
satu-satunya pihak yang harus dipersalahkan dalam masalah ini, sebab
bagaimanapun juga sistem pendidikan tidak bebas dari sistem sosial yang
lebih luas.
Kebijakan tentang pendidikan moral atau budi pekerti kemudian menjadi
wacana yang kontroversial, justru pada persoalan struktur. Persoalan
yang muncul, apakah pendidikan moral atau budi pekerti perlu berdiri
sebagai mata pelajaran tersendiri atau diintegrasikan ke dalam mata
pelajaran/beberapa mata pelajaran yang telah ada. Dalam perkembangannya,
kebijakan tersebut seakan “mati suri” dalam sistem persekolahan kita.
Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional, baik dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini maupun sebelumnya
senantiasa dirumuskan tentang upaya pembentukan moralitas atau budi
pekerti peserta didik, akan tetapi hal itu tidak pernah jelas
implementasinya. Dalam ketidakjelasan sosok pendidikan moral dalam
struktur kurikulum, masyarakat pada umumnya memandang Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) sebagai representasi pendidikan moral.
Pemahaman Tentang Moral
Pemahaman tentang konsep moralitas; apa yang dimaksud dengan moralitas;
adalah titik awal dari pendidikan moral (Darmiyati Zuchdi, 2001: 6).
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata cara atau adat
istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 : 592), kata moral
diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Sementara itu, pada
halaman 131, kata budi pekerti disinonimkan dengan tingkah laku,
perangai, akhlak, atau watak. Dalam pembicaraan sehari-hari, moral juga
sering disamakan dengan etika. Dalam kajian akademik, etika adalah ilmu
tentang tingkah laku yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, etika
adalah ilmu tentang moral atau bahkan salah satu cabang filsafat, yakni
filsafat moral.
Dalam memahami sifat moral terdapat dua pandangan yang kontroversial,
pertama adalah perspektif objektivistik, universal; dan kedua adalah
perspektif relativistik, kontekstual. Bagi pandangan pertama, moral itu
bersifat objektivistik, artinya pasti dan tidak berubah. Suatu bentuk
tingkah laku yang dianggap baik akan tetap dianggap baik, bukan
kadang-kadang dianggap baik dan kadang-kadang dianggap buruk. Sejalan
dengan pandangan ini, moral itu bersifat mutlak (absolut) dan tanpa
syarat. Sebagai contoh, perbuatan mencuri itu sepenuhnya merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan moral, sehingga tidak boleh dikatakan
bahwa dalam keadaan tertentu, perbuatan mencuri itu dibenarkan. Moral
juga bersifat universal, sehingga perbuatan yang baik akan dianggap
baik di manapun dan kapanpun juga. Dengan kata lain, nilai moral itu
tidak tergantung pada dimensi ruang dan waktu.
Adapun pandangan kedua menganggap bahwa moral itu bersifat relatif,
artinya tergantung pada konteks, kultur, situasi dan lain-lain. Dengan
kata lain, sifat moral itu tergantung pada dimensi ruang dan waktu.
Perbuatan yang dianggap baik di suatu tempat belum tentu dianggap baik
di tempat yang lain. Demikian pula perbuatan yang dianggap baik pada
masa yang lalu belum tentu dianggap baik pada masa sekarang.
Munculnya kontroversi tersebut terkait dengan sejarah pemikiran
intelektual Barat, yang terbagi tiga zaman, yakni pemikiran abad klasik,
abad pertengahan, dan abad modern. Pengaruhnya terhadap pemikiran
tentang moral, abad klasik memandang bahwa moral itu bersifat
objektivistik, naturalistik, dan rasionalistik. Sementara itu pada abad
pertengahan, moral itu bersifat objektivistik, supra naturalistik, dan
spiritualistik. Dengan demikian, pada kedua zaman tersebut moral
dianggap bersifat objektivistik. Perbedaannya terletak pada aspek
epistemologi, yakni sumber pengetahuan tentang moral. Menurut pandangan
abad klasik, sumber pengetahuan tentang moral adalah rasio atau akal
budi. Adapun menurut pandangan abad pertengahan, standar moral yang
objektif berasal dari wahyu yang dapat diketahui secara spiritualistik.
Selain itu, abad klasik menganggap moral sebagai persoalan duniawi atau
naturalistik sedangkan abad pertengahan menganggap moral terkait dengan
nilai-nilai Ilahiah serta supra natural (Kurtines and Gerwitz, 1992:
8-21).
Pandangan abad modern tentang moral dipengaruhi oleh karakteristik sains
modern, yakni naturalistik, empirik, dan relativistik. Naturalistik
artinya segala fenomena dipandang sebagai produk dari berbagai proses
dan kekuatan alam, tanpa melibatkan hal-hal yang bersifat spiritual atau
supranatural. Empirik artinya, segala hukum dan teori didasarkan pada
data atau hasil pengalaman inderawi. Dengan demikian konsekuensinya
adalah bahwa kebenaran rasional ditempatkan di bawah kebenaran empiris.
Oleh sebab itu, kebenaran suatu hipotetis yang disusun secara rasional
teoritik dapat digugurkan oleh kebenaran empiris. Dengan demikian pola
pikir ini menolak adanya kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang
objektif dan pasti, tak terkecuali pengetahuan tentang moral. Oleh sebab
itu, dalam pandangan abad modern tentang moral sulit ditemukan
kepastian moral (Kurtiness and Gerwitz, 1992: 26-34).
Dalam menyikapi pandangan abad modern yang merelatifkan moralitas
diperlukan sikap kritis. Salah satu kelemahan literatur Barat tentang
moral atau etika adalah tidak jelasnya klasifikasi moral, yang
membedakan antara moral kesusilaan dan kesopanan. Berkaitan dengan
kontroversi pandangan yang objektivistik dan relativistik tersebut,
dapat saja keduanya diterima dengan kategori yang berbeda. Nilai-nilai
moral yang bersifat objektivistik dikategorikan sebagai moral
kesusilaan, seperti kejujuran, keadilan, keihlasan, tanggung jawab dan
lain-lain. Adapun nilai-nilai moral yang bersifat relativistik
dikategorikan sebagai moral kesopanan, seperti berbicara secara sopan,
hormat kepada orang yang lebih tua, tidak bertamu pada jam istirahat dan
sebagainya. Persoalan etis yang digolongkan sebagai kesopanan itu
sering direduksi sebagai etiket.
Klasifikasi tentang moral juga dikemukakan oleh Widjaja (1985: 154),
bahwa persoalan moral atau etika membicarakan tentang tata susila dan
tata sopan santun. Tata susila mendorong orang untuk berbuat baik,
karena hati nuraninya mengatakan baik, lepas dari hubungannya dengan
orang lain. Dengan demikian nilai-nilai kesusilaan itu bersumber dari
hati nurani manusia yang bersifat universal. Adapun tata sopan santun
mendorong untuk berbuat, terutama yang bersifat lahiriah, tidak
bersumber dari hati nurani, melainkan untuk sekedar menghargai orang
lain dalam pergaulan. Dengan demikian nilai-nilai kesopanan bersumber
dan terkait dengan konteks lingkungan sosial, budaya, dan adat istiadat.
Apa yang dikemukakan oleh Widjaja tentang hati nurani yang merupakan
sumber nilai-nilai kesusilaan tersebut dalam pandangan moralitas Islam
dapat disebut sebagai fithrah manusia, suatu potensi nilai-nilai dasar
yang suci yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada setiap manusia, sesuai
dengan kodratnya sebagai makhluk yang paling mulia. Sementara itu
menurut Immanuel Kant, perintah wajib untuk dilaksanakan yang bersumber
dari hati nurani itu disebut imperatif kategoris.
Pendidikan Moral dalam Sistem Sekolah
Terkait dengan wacana pendidikan moral dalam sistem pendidikan formal
(persekolahan), kiranya relevan untuk diungkapkan kembali “paradigma
lama” tentang pendidikan, yakni pendidikan sebagai pewarisan dan
pelestarian nilai-nilai. Paradigma semacam itu dikemukakan Bourdieu
dalam Karabel and Halsey (1977: 488) :
By tradisionally defining the educational system as the group of
institutional or routine mechanism by means of which is operated what
Durkheim calls “the conservation of a culture inherited from the past”,
i.e. the transmission from generation to generation of accumulated
information, classical theories tend to associate the function of
cultural reproduction proper to all educational system from their
function of social reproduction.
Pewarisan dan pelesteraian nilai-nilai budaya warisan masa lalu tersebut
terutama menyangkut nilai-nilai moral dan adat istiadat. Pada masa yang
silam, pendidikan moral pada mulanya dipandang sebagai inti dan wajah
pendidikan itu sendiri. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Downey
& Kelly (1978: 8),
From earleist times in educational theory and practice moral education
has been seen as the very core of the educational process, and moral
upbringing has been regarded, almost without question, as the central
feature of education itself.
Paradigma pendidikan seperti itu sering dianggap kuno, konservatif, dan
tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Paradigma pendidikan modern adalah
pendidikan untuk perubahan, bukan untuk pemeliharaan nilai-nilai atau
penjaga tradisi. Pendidikan yang fungsional adalah pendidikan yang mampu
menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Pandangan ini tak mungkin
ditolak, namun tidak berarti bahwa nilai-nilai warisan masa lalu,
seperti adat istiadat dan moral, merupakan sesuatu yang sudah usang dan
harus dibuang.
Dalam hubungan ini menurut Emile Durkheim, seorang tokoh sosiologi
Prancis, sekolah mempunyai tugas dan peranan yang sangat besar dalam
perkembangan moral peserta didik. Pendapat ini berbeda dengan anggapan
umum yang menyatakan bahwa pendidikan moral terutama merupakan hak
keluarga. Menurut pendapatnya, meskipun keluarga merupakan lingkungan
yang efektif untuk menumbuhkan perasaan-perasaan mendasar tentang
moralitas serta perasaan-perasaan dalam hubungan pribadi yang sederhana,
namun keluarga bukan lembaga yang dibangun dengan tujuan mendidik anak
untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat. Perlu dikemukakan
bahwa Durkheim membatasi moral pada apa yang disebut “moral rasional”
atau tegasnya bukan prinsip-prinsip moral yang diajarkan oleh agama
(Taufik Abdullah & A.C. van der Leeden, 1986: 151-152).
Pendidikan moral ternyata juga masih memperoleh perhatian di
negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, yang dikenal longgar
dalam persoalan moral. Menurut Kirschenbaum yang dikutip oleh Darmiyati
Zuchdi (2001: 1-2), sejak sebelum tahun 1990 telah dikembangkan
pendidikan moral, yang mengajarkan nilai-nilai tradisional, dengan
dukungan para orang tua, pemuka agama, guru, dan politisi. Meningkatnya
perhatian terhadap pendidikan moral itu disebabkan karena ketidakmampuan
negara dalam mengatasai masalah minuman keras, kriminilitas, kekerasan,
disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan
remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat,
tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis, serta tidak terkendalinya
jumlah skandal pada tahun 1980-an.
Kontroversi tentang penataan pendidikan moral atau budi pekerti dalam
strukur kurikulum sekolah merupakan persoalan pengorganisasian
kurikulum. Tegasnya, apakah dalam penataannya mengacu pada subject
curriculum, berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri, atau integrated
curriculum, yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain. Pilihan
kedua sejalan dengan apa yang dikemukan Downey & Kelly (1978: 166),
yang mengatakan :
Most curriculum areas, such a history, environmental or social studies,
the study of literature, health and sex education, the study of
relegion, offer obvious occasions for the discussion of moral problems.
The expressive and creative arts too can provide opportuniteis for the
development of the emotional or affective components of morallity.
Pilihan kedua semacam itu jika diterapkan dalam sistem pendidikan
nasional mungkin akan menjadi “beban tambahan” bagi guru, sebab guru dan
sistem persekolahan kita telah mapan dengan orientasi subject
curriculum. Dengan orientasi yang telah mapan ini, kurikulum terdiri
berbagai mata pelajaran yang terpisah-pisah, masing-masing berisi materi
pelajaran yang dipilih dan disusun secara logis, sistematis, dan
mendalam. Para guru pada umumnya membatasi tugas profesinya pada
penguasaan materi dari mata pelajaran yang diampunya.
Visi dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) mempunyai tujuan yang khas, yakni
terbentuknya warga negara yang baik (good citizen) dalam rangka nation
and character building. Namun pengertian “warga negara yang baik” itu
pada masa yang lalu sering diartikan sesuai dengan tafsir penguasa. Pada
masa Orde Lama, konotasi warga negara yang baik adalah berjiwa
“revolusioner”, anti imperialime, kolonialisme, dan neo kolonialisme.
Pada masa Orde Baru, konotasinya adalah warga negara yang Pancasilais,
manusia pembangunan dan sebagainya.
Pada masa Orde Lama diterbitkan buku Manusia dan Masyarakat Baru
Indonesia (1962), acuan pokok mata pelajaran Civic (Kewargaan Negara).
Buku tersebut antara lain berisi tentang Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi
Terpimpin, Manifesto Politik (Manipol), serta pidato-pidato Presiden
yang dibukukan dalam Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi).
Sejak munculnya Orde Baru pada tahun 1966, isi mata pelajaran Civic
versi Orde Lama hampir seluruhnya dibuang, digantikan dengan bahan-bahan
baru, terutama ketatapan-ketetapan MPRS. Sejalan dengan amanat
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, sejak diberlakukannya Kurikulum 1975,
mata pelajaran Kewargaan Negara berganti nama menjadi Pendidikan Moral
Pancasila (PMP). Dengan berlakunya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang
P-4, materi pelajaran PMP didominasi oleh materi P-4. Pada masa itu,
tidak jarang guru-guru PMP sering “kehabisan bahan”, sebab materi P-4
tidak jelas isi dan struktur keilmuannya. Sejalan dengan Ketetapan MPR
No. XVIII/MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, maka
materi P-4 secara resmi tidak digunakan lagi
Dengan coraknya yang semacam itu, Pendidikan Kewarganegaraan sering
dianggap sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Adalah
wajar jika muncul anggapan bahwa mata pelajaran ini lebih bersifat
politis dari pada akademis dan lemah landasan keilmuannya. Kenyataan
yang demikian memang sering berlaku di sejumlah negara berkembang,
sebagaimana dikemukakan oleh Cogan (1998, 5) :
Citizenship education has often reflected the interest of those in power
in a particular society and thus has been a matter of indoctrination
and the establishment of ideological hegemony rather than of education.
Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru berorientasi pada terbentuknya
masyarakat sipil (civil society), dengan memberdayakan warga negara
melalui proses pendidikan, agar mampu berperan serta secara aktif dalam
sistem pemerintahan negara yang demokratis. Print dkk (1999: 25)
mengemukakan, civic education is necessary for the building and
consolidation of a democratic society. Peranan warga negara yang yang
lemah dan pasif harus dirubah ke arah peranan yang kuat dan
partisipatif. Mekanisme pengelolaan sistem pemerintahan yang demokratis
semestinya tidak bersifat top down, melainkan lebih bersifat buttom up.
Jika pada masa yang lalu lebih ditekankan pada peranan negara dalam
mengatur kehidupan warga negara, kini perlu ditekankan pada peranan
warga negara dalam mengelola kehidupan bernegara. Inilah visi dan misi
Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru (new civic education).
Restrukturisasi isi/materi merupakan bagian penting atau bahkan umumnya
dianggap terpenting dalam suatu pembaharuan kurikulum. Berkaitan dengan
isi Pendidikan Kewarganegaraan, Print (1999: 11) mengemukakan adanya
keragaman pemahaman sebagai berikut :
For some, civic education is the study of government,
constitutions, institutions, the rule of law and the rights and
responsibilities citizens For others, civics is called citizenship
education emphasises processes of of democracy, active citizen
participation and the engagement of people in civil society. For many,
the study of civic eduation includes learnings related to the
institutions and systems involved in government, political heritage,
democratic processes, rights and responsibilities of citizens, public
administration and judicial systems.
Sementara itu Abdul Azis Wahab (2000: 5) mengemukakan sepuluh pilar
demokrasi Indonesia yang harus menjadi prinsip utama pengembangan materi
Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu :
- Konstitusionalisme
- Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa
- Kewarganegaraan cerdas
- Kedaulatan rakyat
- Kekuasaan hukum
- HAM
- Pembagian kekuasaan
- Sistem peradilan yang bebas
- Pemerintahan Daerah
- Kesejahteraan sosial dan keadilan sosial
Dimensi Moral dalam Pendidikan Kewarganegaraan
Kompetensi yang hendak dikembangkan oleh Pendidikan Kewarganegaraan
paradigma baru adalah agar siswa mampu menjadi warga negara yang
berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang
demokratis. Untuk memiliki kompetensi seperti itu diperlukan seperangkat
pengetahuan (kognitif), ketrampilan (psikomotor), serta watak
(afektif). Dalam konsep Pendidikan Kewarganegaraan disebut (1) civic
knowledge, (2) civic skills, dan (3) civic disposition/traits (Ace
Suryadi dan Somardi, 2000: 5). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
cukup ramai menjadi perbincangan akhir-akhir ini tidak jauh berbeda
dengan konsep pengembangan tersebut. McAshan (1981: 45) menyatakan bahwa
kompetensi siswa yang dikembangkan dalam pembelajaran adalah :
the knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person
achieves, which become of his or her being to the extent he or she can
satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor
behaviors.
Arah pengembangan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor sudah
kerap kali dirumuskan dalam kebijakan pendidikan, akan tetapi tidak
jelas implementasinya dalam pembelajaran. Kuatnya penekanan pada domain
kognitif dan lemahnya domain afektif merupakan kecenderungan umum
berbagai mata pelajaran. Dalam hubungan ini Ringness (1975: 5)
mengemukakan :
One finds affective behavior in any school situation –indeed, in any
situation- but compared to cognitive learning, relatively little
affective learning has been deliberately introduced into the
curriculum.
Terkait dengan kecenderungan tersebut, kritik terhadap PMP/PKn selama
ini menyangkut hasil belajar yang juga lebih bersifat kognitif, bahkan
tidak jarang bersifat verbalistik. Hasil belajar yang demikian tidak
sesuai dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang pada umumnya
dianggap sebagai representasi pendidikan moral. Lebih-lebih mata
pelajaran ini dahulu dalam Kurikulum 1975 maupun 1984 memang berlabel
“pendidikan moral”, yakni Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Persoalan
moral menyangkut sikap dan kepribadian, sehingga pembelajarannya
seharusnya lebih mengembangkan aspek afektif dan konatif (dorongan untuk
bertindak). Aspek kognitif tentu tidak bisa diabaikan, sebab untuk
dapat bersikap dan bertindak dengan baik tentu harus didukung oleh
kognisi yang baik pula.
Domain afektif adalah the internal side dari diri manusia, yang
pembentukannya memerlukan proses internalisasi yang tidak mudah dan
perkembangannya juga tidak dapat diamati secara langsung (non
observable). Sebagaimana kemampuan kognitif, kualitas afektif seseorang
terhadap suatu objek itu juga berjenjang. Krathwohl, Bloom, dan Masia
(1964) mengemukakan tentang Taksonomi Domain Afektif yang jenjang
kedalaman afeksinya secara hirarkhis meliputi (1) Receiving, (2)
Responding, (3) Valuing, (4) Organization, and (5) Characterization by a
value or values complex (Bloom, et al, 1981: 301-302; Ringness, 1975:
21).
Tentang aspek materinya, dimensi moral dalam Pendidikan Kewarganegaraan
dikembangkan dari materi kurikulum formal Pendidikan Kewarganegaraan itu
sendiri. Sebagai contoh, dari materi tentang kekuasaan hukum
dikembangkan rasa kesadaran hukum, menghormati kekuasaan lembaga
peradilan, tidak “main hakim sendiri” dan sebagainya. Agar pembelajaran
yang berlangsung terasa aktual dan kontekstual, bahan dan sumber
pembelajaran sebaiknya didukung oleh berbagai peristiwa hukum atau
kasus yang terjadi di masyarakat sekitar. Dengan kata lain, dimensi
moral dalam Pendidikan Kewarganegaraan tidak lain adalah pengembangan
kemampuan afektif atau civics disposition/traits dari setiap materi
pelajaran, sebagai tindak lanjut dari kemampuan kognitifnya.
Di luar kurikulum formal, guru dengan otonomi yang dimilikinya dapat
menanamkan nilai-nilai moral yang dianggap penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan negara. Nilai-nilai moral itu misalnya :
sopan santun dalam masyarakat, penghargaan terhadap budaya bangsa,
nasionalisme, rasa kemanusiaan, kejujuran, disiplin, dan berbagai
bentuk tingkah laku sehari-hari. Dengan demikian, selain kurikulum
formal (formal curriculum) dimungkinkan pula bagi guru untuk
mengembangkan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Terkait dengan
hidden curriculum, menurut Belinda Charles dalam Print (1999: 133-135),
The Study of Civic Awareness and Attitudes of Secondary School Pupils
(CDC, 1995) dalam rekomendasinya menekankan pentingnya etos sekolah
dalam menumbuhkan pertimbangan moral dan pengejaran nilai-nilai
spiritual.
Berdasar hal-hal yang telah dikemukakan, problem pendidikan moral dalam
Pendidikan Kewarganegaraan lebih terletak pada strategi dan metode
pembelajaran, serta teknik evaluasinya. Misalnya, dari ilustrasi tentang
materi kesadaran hukum, bagaimana menginternalisasikan nilai dan norma
hukum, sehingga tumbuh kesadaran hukum, kepatuhan terhadap proses hukum
dan sebagainya. Selanjutnya, bagaimana mengevaluasi kesadaran,
kepatuhan, penghargaan dan lain-lain sebagai suatu gejala yang tidak
dapat diamati secara langsung. Evaluasi tersebut tentu tidak cukup
dengan paper and pencil test, melainkan perlu teknik-teknik non tes,
seperti wawancara, observasi, pemberian tugas dan lain-lain. Dengan
demikian problemnya lebih bersifat teknis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar