Pengaruh Kecerdasan Sosial Emosional Terhadap Prestasi Sekolah
Menurut Plato secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai
makhluk sosial (zoon politicon). Syamsuddin mengungkapkan bahwa
"sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial",
seseorang memiliki sikap sosial apabila ia selalu memperhatikan ataupun
berbuat baik terhadap orang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap
sosial merupakan beberapa atau serentetan tindakan menuju kebaikan
terhadap sesamanya, dan kata sosial itu sendiri memiliki makna yang
beragam, dari yang menyamakan sebagai tindakan-tindakan yang
menyenangkan (seperti: sepak bola, volly dsb) hingga pandangan yang
lebih serius misalnya meningkatkan kehidupan ke taraf yang lebih baik
melalui kehidupan sosial.
Perkembangan dan pertumbuhan sosial anak tidak dapat lepas dari
perkembangan lainnya, seperti fisik, mental dan emo1si. Hubungan
ketiganya sangat erat kaitannya, sehingga salah satu faktor saja dapat
menjadi dasar untuk menghasilkan perkembangan sosial itu sendiri,
misalnya fisik dan fisiologis, taraf kesiapan mental dan taraf
kematangan emosional, karena faktor inilah yang akan mempengaruhi dan
dipengaruhi orang lain, sehingga akan menentukan cepat lambatnya
perkembangan di setiap fase. Power ( dalam Crow&Crow) mendefinisikan
bahwa perkembangan sosial adalah sebagai kemajuan yang progresif
melalui kegiatan yang terarah dari individu dalam pemahaman atas warisan
sosial dan formasi pola tingkah lakunya yang luwes.
Menurut Elizabeth B. Hurlock perkembangan sosial adalah kemampuan
seseorang dalam bersikap atau tata cara perilakunya dalam berinteraksi
dengan unsur sosialisasi dimasyarakat. hal ini akan banyak dipengaruhi
oleh sifat pribadi setiap individu yaitu introvert atau ekstrovert.
Sedangkan Singgih D. Gunarsah, mengatakan bahwa perkembangan sosial
merupakan kegiatan manusia sejak lahir, dewasa, sampai akhir hidupnya
akan terus melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya yang
menyangkut norma-norma dan sosial budaya masyarakatnya.
Emosi, menurut L. Crow &Crow, adalah pengalaman yang afektif yag
disertai oleh penyesuaian batin secara menyeluruh, dimana keadaan mental
dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap, juga dapat
diperlihatkan dengan tingkah laku yang jelas dan nyata. Menurut Goleman,
emosi adalah perasaan dan pikiran khasnya; suatu keadaan biologis dan
psikologis; suatu rentangan dari kecenderungan untuk bertindak.
Sedangkan menurut kamus The American College Dictionary, emosi adalah
suatu keadaan afektif yang disadari dimana dialami perasaan seperti
kegembiraan (joy), kesedihan,takut,benci dan cinta .
Di tengah persaingan dalam dunia pendidikan saat ini, setiap pelajar
menginginkan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan tahun
sebelumnya dan ada rasa khawatir jika nantinya mereka mengalami
kegagalan sehingga belajar yang keras (seperti mencari tempat les dan
privat) dilakukan, agar nantinya, pada jenjang berikutnya mereka tidak
mengalami kegagalan dan mendapatkan lembaga favorit dengan harapan
akan membawa kesuksesan dalam kehidupannya kelak.
Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak
kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun
kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional.
Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi
individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun
kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu
mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan
mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan
efektif.
Seseorang dengan keterampilan emosional yang baik maka sangat
dimungkinkan kehidupannya mendatang akan lebih bahagia karena ia
memiliki keinginan untuk berprestasi,
Sementara seseorang yang tidak mempunyai keterampilan emosional yang
baik maka ia tidak akan dapat mengendalikan emosinya dan tidak dapat
berpikir jernih karena adanyag linggi yam pertarungan batin yang merusak
kemampuan pemusatkan pikirannya.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992)
menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan
fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh
ukuran-ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan
mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan
bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu
menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari
bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan
siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut
laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan
emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai
kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar).
Keterampilan sosial emosional ini tidak dapat begitu saja terjadi tetapi
ia memerlukan proses untuk mewujudkannya yang dimulai dari pembentukan
sosial emosional di lingkungannya. orang yang terlatih terampil secara
emosional, maka ia akan semakin terampil memecahkan permasalahan dirinya
sendiri, mengendalikan gagasan-gagasan yang negatip dalam berbagai
kondisi dan juga dapat menerima apa yang diinginkan oleh teman yang
lainnya.
Orang tua mempunyai peluang yang luar biasa untk mempengaruhi kecerdasan
emosional anak-anak mereka dengan menolong mereka mempelajari tingkah
laku yang menghibur diri sejak masa bayi dan seterusnya. Miskipun
bayi-bayi itu tidak berdaya, mereka mampu belajar dari tanggapan kita
terhadap ketidaknyamanan mereka bahwa emosi itu mempunyai sebuah arah
bahwa dimungkinkan untuk beralih dari perasaan-perasaan sedih sekali,
amarah dan takut menuju pada perasaa-perasaan nyaman dan segar (John
Gottman, 2003: 29)
Dalam peneniltian Murray tentang perkembangan kebutuhan berprestasi
(n-Ach), menemukan pengaruh kebutuhan ini pada banyak sisi kehidupan
manusia. Orang dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi cenderung
menunjukkan berbagai perbedaan dengan mereka yang kebutuhan prestasinya
rendah. Sukar untuk menentukan apa yang mempengaruhi n-Ach ini menjadi
tinggi atau rendah. Perkembangan n-Ach tentu dipengaruhi oleh model
pengasuhan anak, dan hubungan anak dengan orang tua/lingkungan, namun
hubungan ini sangat kompleks. Dari penelitian yang intensif, ditemukan
tujuh ciri orang yang memiliki n-Ach yang tinggi dan empat anteseden
orang yang mempunyai n-Ach tinggi:
Ciri orang yang memiliki n-Ach tinggi:
- Lebih kompetitif
- Lebih bertanggungjawab terhadap keberhasilan diri
- Senang menetapkan tujuan yang menantang tapi cukup realistik
- Memilih tugas yang tingkat kesulitannya cukupan, yang tidak pasti apakah bisa diselesaikan atau tidak
- Senang dengan kerja interprener yang beresiko tetapi cocok dengan kemampuannya
- Menolak kerja rutin
- Bangga dengan pencapaian dan mampu menunda untuk memperoleh kepuasan yang lebih besar, konsep diri positip, berprestasi di sekolah
Empat anteseden (pemberi dukungan) n-Ach tinggi:
- Orangtua dan lingkungan budaya memberikan tekanan yang cukup kuat (menganggap penting) dalam hal berperstasi yang tinggi
- Anak diajar untuk percaya keada diri sendiri dan berusaha memantapkan tujuan menjadi orang yang berprestasi tinggi
- Pekerjaan kedua orangtua mungkin berpengaruh. Ayah yang pekerjaannya melibatkan pengambilan keputusan dan inisiatif dapat mendorong anak mengembangkan motivasi berprestasi
- Kelas sosial dan pertumbuhan ekonomi (nasional) yang tinggi dapat mempengaruhi n-Ach. (Alwisol,Psikologi kepribadian, 2008, Malang: UMM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar