FILSAFAT PENDIDIKAN PANCASILA
Ajaran filsafat
mempunyai status tinggi dalam kebudayaan manusia, yakni sebagai ideologi bangsa dan negara dan selanjutnya menjadi eksistensi suatu
bangsa untuk menjaga eksistensi, maka
diwariskanlah nilai-nilai itu pada generasi selanjutnya dengan cara transfer
nilai yang efektif melalui pendidikan untuk menjamin kebenaran dan efektifnya
proses pendidikan maka dibutuhkan landasan filosofis dan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan
pembinaan yang berhasil atau
tidaknya pendidikan berpengaruh besar terhadap prestasi suatu bangsa bahkan
pada tingkat sosio-budaya mereka. Kedudukan Filsafat Pendidikan bisa dibagi
menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Landasan
Ilmiah, bagi pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang secara
dinamis.
2. Landasan Filosofis, menjiwai seluruh
kebijaksanaan dalam pelaksanaan pendidikan dan dapat menjawab persoalan
pendidikan.
Adapun contoh dalam
aplikasi di kehidupan nyata yang bersumber dari ajaran filsafat yaitu,
kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.
A. Pancasila
Sebagai Filsafat Hidup Bangsa
Pancasila adalah :
a.
Jiwa
seluruh rakyat Indonesia
b.
Kepribadian
bangsa Indonesia
c.
Pandangan
bangsa Indonesia
d.
Dasar
negara Indonesia
e.
Tujuan
hidup bangsa Indonesia
f.
Kebudayaan
yang mengajarkan banhwa hidup manusia akan mencapai puncak kebahagiaan jika
dapat dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia
secara pribadi, sebagai makhluk sosial dalam hubungan masyarakat, alam dan
Tuhannya à mengejar kemajuan
lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.
Pancasila harus
dipahami, dihayati dan diamalkan dalam
kehidupan agar mempunyai nilai dan arti
bagi kehidupan bangsa. Pancasila yang dimaksud tersebut dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945 terdiri dari 5 sila, penjabarannya sebanyak 36 butir yang
saling berhubungan menjadi satu kesatuan.
Bukti pengamalan
pancasila yang dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa Menurut Muhammad
Noor Syam (1983:346), nilai-nilai dasar dalam sosio budaya Indonesia
hidup dan berkembang sejak awal peradabannyayang bersifat masih berupa
kebudayaan, yang meliputi:
a. Kesadaran ketuhanan
dan kesadaran keagamaan secara sederhana
b. Kesadaran
kekeluargaan, dimana cinta dan keluarga sebagai dasar dan kodrat terbentuknya
masyarakat dan sinambungnya generasi.
c. Kesadaran musyawarah
mufakat dalam menetapkan kehendak bersama
d. Kesadaran gotong
royong, tolong-menolong.
e. Kesadaran tenggang
rasa, atau tepa selira, sebagai
semangat kekeluargaan dan kebersamaan, hormat-menghormati dan memelihara
kesatuan, saling pengertian demi keutuhan, kerukunan dan kekeluargaan dalam
kebersamaan.
B.
Pancasila Sebagai Filsafat Pendidikan Nasional
Pendidikan di
Indonesia berkembang secara dinamis dari zaman kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Seperti yang disebutkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “pendidikan diusahakan dan diselenggarakan
oleh pemerintah sebagai satu sistem pengajaran nasional (setiap warga Negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal
ini dimaksudkan agar pendidikan dapat menjamin perkembangan dan kelangsungan
kehidupan bangsa.
C.
Sejarah yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai asas pendidikan nasional:
· Menurut Aris Toteles, tujuan pendidikan sama
dengan tujuan didirikannya suatu negara (Rapar, 1988:40). Begitu juga
Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ingin menciptakan manusia
pancasila.
a.
Tahun
1959, pemerintah mengeluarkan
kebijaksanaan agar arah pendidikan tidak menuju pembentukan manusia liberal
yang dianggap sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia
(Depdikbud,1993:79).
b.
Atas
instruksi menteri Pengajaran dan Budaya (PM) Prof. Dr. Priyono yang dikenal
dengan nama “Sapta Usaha Tama dan
Pancawardhana” yang isinya antara
lain bahwa Pancasila merupakan asas pendidikan nasional (Supardo, 1960:431).
Alasan Filsafat
Pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasional, karena Filsafat pendidikan
Pancasila merupakan sub sistem dari sistem negara yang merupakan perwujudan
nilai dan jiwa pancasila yang dapat melestarikan kebudayaan, martabat dan
kepribadian bangsa dan Negara. Dapat dikatakan bahwa Filsafat Pendidikan
Pancasila merupakan aspek Rohaniah atau spiritual Sisdiknas (Jalaludin &
Abdullah Idi,2011:170). Tercermin dalam tujuan pendidikan nasional yang termuat
dalam UU No. 20 Tahun 2003.
D.
Hubungan Pancasila dengan Sistem Pendidikan Ditinjau dari Filsafat Pendidikan
·
Pancasila merupakan dasar negara dan bangsa serta menjadi pandangan hidup
bangsa yang menjiwai sila-silanya dalam kehidupan sehari-hari.
Filsafat Pendidikan : berusaha
menjawab dengan berpikir secara mendalam, sistematis, dan komprehensif mengenai
bagaimana nilai-nilai Pancasila itu dapat dihayati, dipahami, dan dilaksanakan.
Sistem Pendidikan : memasukkan
nilai-nilai Pancasila ke dalam proses pendidikan (peran utama transfer nilai)
E.
Filsafat Pendidikan Pancasila dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi
Isi
Pancasila :
Ketuhanan
Yang maha Esa
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia
F. Aspek Ontologis
Ontologi ialah penyelidikan
hakikat ada (esensi) dan keberadaan (eksistensi) segala sesuatu: alam semesta,
fisik, psikis, spiritual, metafisik, termasuk kehidupan sesudah mati, dan
Tuhan. Ontologi Pancasila mengandung azas dan nilai antara lain:
- Tuhan yang mahaesa adalah sumber eksistensi kesemestaan. Ontologi ketuhanan bersifat religius, supranatural, transendental dan suprarasional;
- Ada – kesemestaan, alam semesta (makrokosmos) sebagai ada tak terbatas, dengan wujud dan hukum alam, sumber daya alam yang merupakan prwahana dan sumber kehidupan semua makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur, pertambangan, dan sebagainya;
- Eksistensi subyek/ pribadi manusia: individual, suku, nasional, umat manusia (universal). Manusia adalah subyek unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan berdaulat. Subyek pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan kewajiban dalam kebersamaan dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia), sekaligus secara sosial-vertikal universal dengan Tuhan. Pribadi manusia bersifat utuh dan unik dengan potensi jasmani-rohani, karya dan kebajikan sebagai pengemban amanat keagamaan;
- Eksistensi tata budaya, sebagai perwujudan martabat dan kepribadian manusia yang unggul. Baik kebudayaan nasional maupun universal adalah perwujudan martabat dan kepribadian manusia: sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti keluarga, masyarakat, organisasi, negara. Eksistensi kultural dan peradaban perwujudan teleologis manusia: hidup dengan motivasi dan cita-cita sehingga kreatif, produktif, etis, berkebajikan;
- Eksistensi bangsa-negara yang berwujud sistem nasional, sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat, yang menampilkan martabat, kepribadian dan kewibawaan nasional. Sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat merupakan puncak prestasi perjuangan bangsa, pusat kesetiaan, dan kebanggaan nasional.
Secara garis besar, interelasi
eksistensi manusia sebagai pribadi dan warganegara, yang menghayati kedudukan
dan fungsinya, hak dan kewajibannya untuk berbakti dan mengabdi dapat
digambarkan sebagai berikut:
- T Eksistensi Tuhan yang mahaesa sebagai sumber semua eksistensi, sumber motivasi dan cita-cita kebajikan, puncak proses teleologis eksistensi kesemestaan. Subyek manusia – sadar atau tidak – menuju dan kembali kepada-Nya.
- AS Eksistensi Alam Semesta, sebagai prawahana kehidupan manusia dan makhluk semesta.
- SM Eksistensi Subyek Manusia yang unik, mandiri, merdeka, berdaulat, dengan potensi martabat dan kepribadian yang mengemban amanat ketuhanan/ keagamaan, sosial, nasional dan kemanusiaan.
- SB Eksistensi Sosio-Budaya sebagai kreasi, karya dan wahana kehidupan manusia.
- SK Eksistensi Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan puncak prestasi bangsa-bangsa; perwujudan identitas nasional, kemerdekaan, kedaulatan dan kewibawaan nasional.
- P Pribadi manusia, sebagai eksistensi tunggal, utuh dan unik, berada dalam antarhubungan fungsional dengan semua eksistensi horisontal. Artinya, pribadi berada di dalam, dipengaruhi dan untuk semua eksistensi horisontal itu. Secara khusus dengan Tuhan yang mahaesa, pribadi manusia menghayati hubungannya dengan Tuhan secara secara vertikal sebagai sumber motivasi dan harapan, rohani, religius.
G. Aspek Epistemologis
Epistemologi menyelidiki sumber,
proses, syarat-syarat batas, validitas dan hakikat ilmu. Epistemologi Pancasila
secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:
- Mahasumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya dan budi nurani. Kemampuan martabat manusia sesungguhnya adalah anugerah dan amanat ketuhanan/ keagamaan.
- Sumber pengetahuan dibedakan dibedakan secara kualitatif, antara:
·
Sumber
primer, yang tertinggi dan terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta,
sosio-budaya, sistem kenegaraan dan dengan dinamikanya;
·
Sumber
sekunder: bidang-bidang ilmu yang sudah ada/ berkembang, kepustakaan,
dokumentasi;
·
Sumber
tersier: cendekiawan, ilmuwan, ahli, narasumber, guru.
- Wujud dan tingkatan pengetahuan dibedakan secara hierarkis:
·
Pengetahuan
indrawi;
·
Pengetahuan
ilmiah;
·
Pengetahuan
filosofis;
·
Pengetahuan
religius.
- Pengetahuan manusia relatif mencakup keempat wujud tingkatan itu. Ilmu adalah perbendaharaan dan prestasi individual maupun sebagai karya dan warisan budaya umat manusia merupakan kualitas martabat kepribadian manusia. Perwujudannya adalah pemanfaatan ilmu guna kesejahteraan manusia, martabat luhur dan kebajikan para cendekiawan (kreatif, sabar, tekun, rendah hati, bijaksana). Ilmu membentuk kepribadian mandiri dan matang serta meningkatkan harkat martabat pribadi secara lahiriah, sosial (sikap dalam pergaulan), psikis (sabar, rendah hati, bijaksana). Ilmu menjadi kualitas kepribadian, termasuk kegairahan, keuletan untuk berkreasi dan berkarya.
- Martabat kepribadian manusia dengan potensi uniknya memampukan manusia untuk menghayati alam metafisik jauh di balik alam dan kehidupan, memiliki wawasan kesejarahan (masa lampau, kini dan masa depan), wawasan ruang (negara, alam semesta), bahkan secara suprarasional menghayati Tuhan yang supranatural dengan kehidupan abadi sesudah mati. Pengetahuan menyeluruh ini adalah perwujudan kesadaran filosofis-religius, yang menentukan derajat kepribadian manusia yang luhur. Berilmu/ berpengetahuan berarti mengakui ketidaktahuan dan keterbatasan manusia dalam menjangkau dunia suprarasional dan supranatural. Tahu secara ‘melampaui tapal batas’ ilmiah dan filosofis itu justru menghadirkan keyakinan religius yang dianut seutuh kepribadian: mengakui keterbatasan pengetahuan ilmiah-rasional adalah kesadaran rohaniah tertinggi yang membahagiakan.
H. Aspek aksiologis
Aksiologi
menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara
kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan
epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
- Tuhan yang mahaesa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.
- Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).
- Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.
- Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything from something to be something else, God created everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama Allah.
- Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.
- Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
- Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).
- Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola antarhubungan sosial
manusia meliputi:
- hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan dan antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);
- hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa Prima) menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).
- kualitas hubungan sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal (garis APB);
- kebaikan sesama manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap Ketuhanan yang mahaesa;
- kadar/ kualitas antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC. Tegasnya, garis PC1 akan menghasilkan garis A1PB1 dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi, kualitas kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran kemanusiaan.
Seluruh kesadaran manusia tentang
nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan
bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa, tetapi juga adanya potensi
intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal
budi dan nurani manusia (berupa kebajikan). Azas dan usaha manusia guna semakin
mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama. Nilai cinta inilah
yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan pengabdiannya untuk selalu
berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat ontologis
pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia berkembang dari potensialitas
menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self, bahkan dari
kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan teleologis
ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak
didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan
manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan dan watak
pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta pribadi
dengan sesama dan dengan Tuhan yang mahaesa. Dengan perkataan lain, kesejahteraan
rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah kesadarannya dalam
menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan dan sesamanya.
Nilai instrinsik ajaran filsafat
Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal, meliputi:
multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis;
normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan
hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial,
spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun
multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self),
bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan
abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar