Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Budaya Lokal
Kehidupan manusia dikelilingi oleh budaya, hal ini disebabkan karena
manusia selalu berupaya mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan
yang mengharuskannya selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitar,
baik lingkungan fisik dan non fisik. Proses pembentukan budaya
berlangsung berabad-abad dan teruji sehingga membentuk suatu komponen
yang handal, terbukti dan diyakini dapat membawa kesejahteraan lahir dan
batin. Komponen inilah yang disebut dengan jati diri.
Di dalam jati diri terkandung kearifan lokal (local wisdom) yang
merupakan hasil dari Local Genius dari berbagai suku bangsa, kearifan
lokal inilah seharusnya dirajut dalam satu kesatuan kebudayaan (Culture)
untuk mewujudkan suatu bangsa yaitu, Bangsa Indonesia. Budaya
dilahirkan beribu tahun yang lalu sejak manusia ada di Bumi. Kebiasaan
yang bagai telah menjadi dan membentuk perilaku manusia tersebut
diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Budaya itu sendiri
merupakan suatu produk dari akal budi manusia, setidaknya apabila
dilakukan pendekatan secara etimologi. Budaya dalam hal ini disebut
kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Dalam pergiliran
budaya antar generasi ini dibutuhkan adanya generasi perantara yang
sudah mampu melakukan pemahaman dari generasi tua dan mampu
mengkomunikasikan ke dalam bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh
generasi selanjutnya.
Derasnya arus globalisasi, modernisasi dan ketatnya puritanisme
dikhawatirkan dapat mengakibatkan terkikisnya rasa kecintaan terhadap
kebudayaan lokal. Sehingga kebudayaan lokal yang merupakan warisan
leluhur terinjak-injak oleh budaya asing, tereliminasi di kandangnya
sendiri dan terlupakan oleh para pewarisnya, bahkan banyak pemuda yang
tak mengenali budaya daerahnya sendiri. Mereka cenderung lebih bangga
dengan karya-karya asing, dan gaya hidup yang kebarat-baratan
dibandingkan dengan kebudayaan lokal di daerah mereka sendiri. Slogan
“aku cinta produk lokal. aku cinta buatan Indonesia” sepertinya hanya
menjadi ucapan belaka, tanpa ada aplikasi nyata yang mendukung
pernyataan tersebut.
Penggunaan bahasa asing di media massa dan media elektronik bukan tidak
mungkin menyebabkan kecintaan pada nilai budaya lokal perlahan memudar.
Padahal, bahasa sebagai alat dalam menyampaikan pembelajaran sangat
besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter pemuda. Tidak ada lagi
tradisi yang seharusnya terwariskan dari generasi sebelumnya.
Modernisasi mengikis budaya lokal menjadi kebarat-baratan, sedangkan
puritanisme sering menganggap budaya sebagai praktik sinkretis yang
harus dihindari. Menurut penulis, sepanjang tidak bertentangan dengan
norma, budaya lokal harus selalu dipertahankan untuk memperkuat karakter
anak bangsa. Padahal, jika kita memahami, kebudayaan lokal di daerah
tidak kalah saing dengan budaya-budaya asing yang belum kita kenal.
Negara asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya kita. Bukankah
seharusnya kita bangga dengan budaya lokal yang telah diwariskan kepada
kita generasi pelurus perjuangan bangsa? Dengan keadaan yang seperti ini
perlu ditanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada para pemuda untuk
meningkatkan kecintaan pemuda terhadap kebudayaan lokal.
Maka, sangat diperlukan langkah strategis untuk meningkatkan rasa cinta
dan peduli terhadap kearifan budaya lokal kepada para pemuda.
Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi
oleh masyarakat adat. Namun yang terjadi pada pemuda sangat berbeda
dengan apa yang kita pahami tentang kebudayaan lokal, bahkan kebudayaan
itu sudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing yang sama sekali
tidak kita pahami. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada
generasi penerus dan pelurus perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa
cinta akan kebudayaan lokal khususnya di daerah. Salah satu cara yang
dapat ditempuh di sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan
nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses pembelajaran, ekstra
kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya dengan
mengaplikasikan secara optimal Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Budaya Lokal.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan
sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya dan adat istiadat.
Karakter merupakan representasi identitas seseorang yang menunjukkan
ketundukannya pada aturan atau standar moral yang berlaku dan
merefleksikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya yang termanifestasi
dalam kebiasaan berbicara, bersikap dan bertindak.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong para pelajar
tumbuh dan berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh
pada prinsip-prinsip moral dalam hidupnya serta mempunyai keberanian
melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan.
Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai
nilai-nilai yang baik, tetapi menjangkau bagaimana memastikan
nilai-nilai tersebut tetap tertanam dan menyatu dalam pikiran serta
tindakan.
Kearifan lokal
merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif
teologis, kosmologis dan sosiologisnya.
Upaya membangun karakter pemuda berbasis kearifan budaya lokal sejak
dini melalui jalur pendidikan dianggap sebagai langkah yang tepat.
Sekolah merupakan lembaga formal yang menjadi peletak dasar pendidikan.
Pendidikan di Sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional
yang memiliki peranan yang amat penting dalam meningkatkan sumber daya
manusia.
Melalui
pendidikan di Sekolah diharapkan akan menghasilkan sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas. Jika menilik pada tujuan pendidikan nasiona,
maka manusia yang berkualitas tidak hanya terbatas pada tataran
kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor.
Pada praktiknya, mata pelajaran muatan lokal dipandang merupakan
pelajaran kelas nomor dua dan hanya dianggap sebagai pelengkap.
Sekolah-sekolah menerapkannya sebatas formalitas untuk memenuhi tuntutan
kurikulum yang dituangkan dalam berbagai peraturan. Kondisi demikian
mengindikasikan aplikasi pengajaran muatan lokal di sekolah masih
mengambang. Persoalannya adalah bagaimana penerapan konsep pendidikan
karakter yang sudah dimasukkan ke dalam kurikulum tersebut.
Hal
penting yang mendasari pendidikan karakter di sekolah adalah penanaman
nilai karakter bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi
dan doktrin belaka. Karakter bangsa yang berbudi luhur, sopan santun,
ramah tamah, gotong royong, disiplin, taat aturan yang berlaku dan
sebagainya, perlu metode pembiasaan dan keteladanan dari semua unsur
pendidikan di sekolah.
Semua stakeholder pendidikan diharapkan andilnya dalam memberikan
kontribusi nyata terhadap pelestarian kebudayaan lokal di daerah
khusunya bagi kalangan pemuda sebagai penerus budaya bangsa. Pemberian
pengarahan dan penghargaan kepada para guru juga dianggap perlu dalam
upaya memotivasi dan meningkatkan pemahaman para guru dalam
mengaplikasikan serta memberikan teladan mengenai pendidikan karakter
berbasis kearifan budaya lokal. Contoh implementasi kecil yang dapat
kita realisasikan di sekolah misalnya dengan mengadakan
kegiatan-kegiatan kesiswaan yang menekankan pada pengenalan budaya lokal
yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan sosial
dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat yang
perlu diajarkan kepada para pemuda. Pengadaan sanggar seni budaya di
sekolah-sekolah sebagai sarana merealisasikan bakat juga sebagai hiburan
para pelajar, juga dipandang perlu untuk meningkatkan pengetahuan dan
kecintaan para pemuda pada kebudayaan lokal di daerahnya sendiri.
Permainan-permainan tradisional yang hampir punah juga
sebaiknya diekspos kembali. Gasing, misalnya. Sebagai permainan
tradisional, gasing dapat membawa banyak manfaat dan perlu dilestarikan
karena mengandung nilai sejarah, dapat dijadikan simbol atau maskot
daerah, dijadikan cabang olahraga yang dapat diukur dengan skor dan
prestasi dan mengandung nilai seni.
Dan masih banyak lagi permainan-permainan tradisional yang mengandung
unsur kekompakan tim, kejujuran, dan mengolah otak selain berfungsi
sebagai hiburan juga untuk menanamkan kecintaan pelajar pada budaya
lokal di daerah. Selain itu,
penggunaan bahasa lokal dipandang perlu diaplikasikan paling tidak satu
hari dalam enam hari proses pembelajaran di sekolah. Disamping itu,
diharapkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler berbasis kebudayaan lokal
mulai diadakan di sekolah-sekolah. Kegiatan seperti perlombaan majalah
dinding sekolah, dengan isi yang menekankan pada pengenalan budaya
lokal, lomba cerdas cermat antar pelajar mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat, dan
sebagainya. Contoh
implementasi lainnya yang dapat kita terapkan di luar sekolah adalah
dengan aktif mengadakan seminar (workshop) tentang pendidikan karakter
dan kearifan budaya lokal kepada para pemuda. Tentunya serangkaian
kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan metode yang sesuai dengan
gaya pemuda masa kini agar lebih menarik dan terkesan tidak kuno.
Pendirian komunitas pemuda peduli budaya juga dapat menjadi inovasi dan
memberikan motivasi bagi para pemuda dalam menerapkan pendidikan
karakter berbasis kearifan budaya lokal.
Disamping itu, tradisi-tradisi yang menekankan pada kegotong royongan
dianggap perlu diaplikasikan dan disisipkan pada kegiatan-kegiatan
kesiswaan di sekolah. Kemudian, untuk mendukung
proses pembelajaran para pemuda terhadap sejarah dan kebudayaan lokal,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebaiknya dapat bekerja sama dengan
Dinas Pendidikan untuk mendirikan museum sejarah kebudayaan dan wahana
handicraft yang berisikan pernak-pernik kerajinan tangan hasil karya
pemuda.
Selain untuk memperkenalkan
kebudayaan lokal terhadap kaum pemuda, pendidikan karakter berbasis
kearifan budaya lokal juga memiliki tujuan mengubah sikap dan juga
perilaku sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan
produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang
akan datang. Manfaat dari penerapan budaya yang baik juga dapat
meningkatkan jiwa gotong royong, kebersamaan, saling terbuka satu sama
lain, menumbuhkembangkan jiwa kekeluargaan, membangun komunikasi yang
lebih baik, serta tanggap dengan perkembangan dunia luar.
Budaya merupakan source yang takkan habis apabila dapat dilestarikan
dengan optimal. Selain itu, apabila negara menginginkan profit jangka
panjang, alternatif jawabannya adalah lestarikan budaya dengan
menggunakan potensi yang dimiliki pemuda tentunya tanpa melupakan peran
serta golongan tua. Saatnya kita memperkenalkan
dan menerapkan kembali kebudayaan lokal kita yang telah lama terlupakan
dan meninggalkan budaya asing yang sejatinya sangat tidak sesuai
dengan budaya Indonesia. Kenapa kita mesti malu mengakui budaya sendiri,
sedangkan bangsa asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya kita
dan memperkenalkannya kepada dunia sebagai budaya mereka? Jadi, bukankah
kita mestinya bangga dengan apa yang kita miliki dan memperlihatkan
kepada dunia bahwa inilah budaya daerahku.
A. Konsep Pendidikan Karakter
Sebagai makhluk yang diberikan akal dengan sempurna manusia senantiasa
menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Pelaku dalam segala proses
pendidikan untuk memberdayakan sumber daya manusia serta potensi yang
dimiliki dengan maksimal. Banyak hal yang dibahas ketika mendefinisikan
pengertian pendidikan. Dalam UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
1 menyebutkan bahwa:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara (UU 20/2003:1)
Filsafat pendidikan mengkaji tentang pendidikan dengan membedakan dua
istilah yang berbeda tetapi hampir sama bentuknya, Paedagogie dan
Paedagogiek. Paedagogie berarti “pendidikan”dan Paedagogiek artinya
“ilmu pendidikan”. Perkataan Paedagogos yangpada mulanya berarti pelayan
kemudian berubah menjadi pekerjaan mulia. Karena pengertian paedagoog
(dari paedagogos) berarti seorang yang tugasnya, membimbing anak di
dalam pertumbuhannya ke arah berdiri sendiri dan bertanggung jawab
(Djumberansyah, 1994:16).
Dalam bukunya teori-teori pendidikan Nurani Soyomukti mengatakan bahwa
aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan dalam pendidikan antara
lain: penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, perubahan perilaku 11(Soyomukti, 2010:27).
Pendidikan dalam artiyang luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari
generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamnnya,
kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah (Poerbakawatja, 1982:257). Dalam Psikologi Kepribadian Islam
al-khuluq (karakter) adalah bentuk jamak dari akhlak. Kondisi batiniah
(dalam) bukan kondisi luar yang mencakup al-thab‟u (tabiat) dan
al-sajiyah(bakat).Dalam terminologi psikologi, karakter (character)
adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas; satu sifat atau kualitas
yang tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk
mengidentifikasi seorang pribadi. Elemen karakter terdiri atas
dorongan-dorongan, insting, refleks-refleks, kebiasaan-kebiasaan,
kecenderungan-kecenderungan, perasaan, emosi, sentimen, minat, kebajikan
dan dosa serta kemauan (Mujib, 2006:45).
Sedangkan yang dimaksud bakatadalah citra batin individu yang menetap.
Citra ini terdapat pada konstitusi individu yang diciptakan Allah sejak
lahir.Tabiat merupakan kebiasaan individu yang berasal dari hasil
integrasi antara karakter individu dengan aktifitas-aktifitas yang
diusahakan. (Mujib, 2006:47). Karakter berasal dari bahasa Yunani
kharakter yang berakar dari diksi „kharassein‟ yang berarti memahat atau
mengukir, sedangkan dalam bahasa latin karakter bermakna membedakan
tanda. Dalam bahasa Indonesia, karakter dapat diartikan sebagai sifat
kejiwaan/tabiat/watak (Sri Narwanti, 2011:1).
Pendidikan KarakterDalam pendidikan karakter dimensi yang perlu dipahami
adalah individu, sosial, dan moral. Individu dalam pendidikan karakter
menyiratkan dihargainya nilai-nilai kebebasan dan tanggung jawab.
Nilai-nilai kebebasan inilah yang menjadi prasyarat utama sebuah
perilaku moral. Yang menjadi subjek bertindak dan subjek moral adalah
individu itu sendiri.
Dari keputusannya bebas bertindak, seseorang menegaskan kebaradaan
dirinya sebagai mahluk bermoral. Dari keputusannya tercermin nilai-nilai
yang menjadi bagian dari keyakinan hidupnya (Koesoema,
2011:146).Dimensi sosial mengacu pada corak relasional antara individu
dengan individu lain, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan
kebebasan individu dalam mengorganisir dirinya sendiri. Kehidupan sosial
dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena ada relasi
kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi anggotanya
serta mengekspresikan jalinan relasional antar-individu (Koesoema,
2011:146).
Dimensi moral menjadi jiwa yang menghidupi gerak dan dinamika masyarakat
sehingga masyarakat tersebut menjadi semakin berbudaya dan bermartabat.
Tanpa adanya norma moral, individu akan saling menindas dan liar. Yang
kuat akan makin berkuasa, yang lemah akan semakin tersingkirkan
(Koesoema, 2011:147). Lebih lanjut lagi Lickona (1992) dalam bukunya
Masnur Muslich menyebutkan penekanan tiga komponen karakter yang baik
(components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan
tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral
actionatau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami,
merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilaI-nilaikebajikan (Muslich,
2011:133).
Moral knowing merupakan hal penting untuk diajarkan yang terdiri dari enam hal, yaitu:
- Moral Awareness (kesadaran moral),
- Knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral),
- Perspective taking (pengambilan pandangan),
- Moral reasoning (alasan moral),
- Decision making (pembuatan keputusan),
- Self knowledge (kesadaran diri sendiri) (Muslich, 2011:133).
Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak
yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat enam hal yang merupakan aspek
emosi yang harus mampu dirasakanoleh seseorang untuk menjadi manusia
berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem (percaya diri),
empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai
kebenaran), self control (mampu mengontrol diri),humility (kerendahan
hati) (Muslich, 2011:133).
Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan
menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil
dari dua komponen lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang
dalam perbuatan yang baik, maka harus dilihat tiga aspek lain dari
karakter yaitu competence (kompetensi), keinginan (will), dan habit
(kebiasaan) (Muslich, 2011:134).
Ketiga aspek moral tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dan
ketiganya saling bersinergi. Seorang anak harus diberikan pengetahuan
tentang moral karena tanpa adanya arahan dari orang tua anak tidak akan
memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang moral yang dengannya anak
mengetahui hal-hal baik dan buruk. Penanaman perasaan moral dan
pelaksanaan atau tindakan moral harus ditanamkan sejak dini, karena
seorang anak yang sudah terlanjur dan terbiasa melakukan hal-hal buruk
atau negatif akan sulit sekali untuk penanaman moral kembali, maka
sebelum hal itu terjadi alangkah
baiknya dilakukan pencegahan sebelum kejadian hal yang tidak
diinginkan. Nilai-nilai pendidikankarakter yang bersumber dari agama,
Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu
(Narwanti, 2011:28):
B. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksana ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Narwanti, 2011:29). Dengan
indikator pencapaian pembelajaran:
- Beraqidah lurus
- Beribadah yang benar
- Berdoa sebelum mulai dan sesudah selesai pembelajaran
- Mengaitkan materi pembelajaran dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa
- Melaksanakan shalat dhuha
- Melaksanakan shalat dhuhur berjamaah
- Melaksanakan shalat asar berjamaah
- Hafal al-Qur‟an minimal 1 juz
- Program tahfid: setoran hapalan 1 juz ayat al-Qur‟an
- Program penunjang: tilawah dan hapalan sesudah sholat dhuhur berjamaan selama 5 menit
- Musabaqah hifdhil Qur‟an
- Reward gratis SPP bagi yang hafal di atas 3 juz (Narwanti, 2011:64).
Jujur, yaitu perilaku yang dilaksanakan dalam upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan (Narwanti, 2011:29). Dengan indikator pencapaian:
- Membuat laporan hasil percobaan sesuai dengan data yang diperoleh
- Tidak pernah menyontek dalam ulangan
- Tidak pernah berbohong dalam berbicara
- Mengakui kesalahan
- erbuka dalam memberi penilaian kepada peserta didik (Narwanti, 2011:65) Toleransi, yaitu Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, sikap, tindakan orang lain yang berbeda (Narwanti, 2011:29).
Dengan indikator pembelajaran:
- Pelayanan yang sama terhadap peserta didik tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial dan status ekonomi.
- Memberikan pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus
- Bekerja dalam kelompok dengan teman- teman yang berbeda jenis kelamin, agama, suku dan tingkat kemampuan.
- Tidak memaksakan kehendak atau pendapat orang lain.
- Hormat menghormati
- Basa basi
- Sopan santun
- Hati-hati tidak bolehtinggi bicara atau tinggi hati (Narwanti, 2011:65).
Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
kepada berbagai ketentuan dan aturan (Narwanti, 2011:29). Dengan
indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Hadir tepat waktu
- Mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran
- Mengikuti prosedur kegiatan pembelajaran
- Menyelesaikan tugas tepat waktu (Narwanti, 2011:66).
Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan
tugas dengan tepat waktu dan sebaik-baiknya (Narwanti, 2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Berupaya dengan gigih untuk menciptakan semangat kompetisi yang sehat.
- Substansi pembelajaran menantang peserta didik untuk berpikir keras.
- Menyelesaikan semua tugas yang diberikan oleh guru.
- Berupaya mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi (Narwanti, 2011:66).
Kreatif, yaitu berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki (Narwanti, 2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Menciptakan situasi belajar yang mendorong munculnya kreativitas peserta didik.
- Memberi tugas yang menantang munculnya kreativitas peserta didik (tugas projek, karya ilmiah, dll)
- Menghasilkan suatu karya baru, baik otentik maupun karya baru (Narwanti, 2011:66).
Mandiri, yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada
orang lain dan menyelesaikan tugas-tugas (Narwanti, 2011:29). Dengan
indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Dalam ulangan tidak mengharapkan bantuan kepada orang lain.
- Penyelesaian tugas-tugas yang harus dikerjakan secara mandiri.
- Mempresentasikan hasil pelaksanaan tugas-tugas yang diberikan.
- Memotivasi peserta didik untuk mmenumbuhkan rasa percaya diri (Narwanti, 2011:67).
Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain (Narwanti, 2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Pembelajaran yang dialogis dan interaktif
- Keterlibatan semua peserta didik secara aktif selama pembelajaran
- Menghargai pendapat setiap peserta didik (Narwanti, 2011:67).
Rasa ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar (Narwanti, 2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Penerapan eksplorasi dan elaborasi dalam pembelajaran.
- Memanfaatkan media pembelajaran (cetak dan elektronik) yang menumbuhkan keingintahuan.
- Menumbuhkan keinginan untuk melakukan penelitian.
- Berwawasan yang luas (Narwanti, 2011:67).
Semangat kebangsaan Cara berfikir, bertindak dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya (Narwanti, 2011:29). Dengan indikator pencapaian
pembelajaran sebagai berikut:
- Bekerjasama dengan teman yang berbeda suku/etnis.
- Mengaitkan materi pembelajaran dengan peristiwa yang menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme (Narwanti, 2011:67).
Cinta tanah air, yairu cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa
(Narwanti, 2011:29). Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai
berikut:
- Menyanyikan lagu-lagu perjuangan
- Diskusi tentang kekayaan alam, budaya bangsa, peristiwa alam, dan perilaku menyimpang.
- Menumbuhkan rasa mencintai produk dalam negeri dalam pembelajaran.
- Menggunakan media dan alat-alat pembelajaran produk negeri (Narwanti, 2011:67)
Menghargai prestasi, yaitu sikap dantindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui,
serta menghormati keberhasilan orang lain (Narwanti, 2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menampilkan ide, bakat dan kreasi.
- Pujian kepada peserta didik yang telah menyelesaikan tugas dengan baik, mengajukan ide cemerlang, atau menghasilkan suatu karya.
- Terampil (Narwanti, 2011:68)
Bersahabat/komunikatif, yaitu tindakan yang memperhatikan rasa senang
berbicara, bargaul, dan bekerja sama dengan orang lain (Narwanti,
2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Pengaturan kelas memudahkan peserta didik berinteraksi.
- Diskusi kelompok untuk memecahkan suatu masalah.
- Melakukan bimbingan kepada peserta didik yang memerlukan.
- Mengajukan dan menjawab pertanyaan dengan santun.
- Manyajikan hasil tugas secara lisan atau tertulis (Narwanti, 2011:68).
Cinta damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya (Narwanti,
2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Tidak saling mengejek dan menjelek-jelekkan orang lain.
- Saling menjalin kerjasama dan tolong menolong.
- Menciptakan suasana damai di lingkungan sekolah (Narwanti, 2011:68).
Tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa (Narwanti, 2011:29).
Dengan indikator pencapaian pembelajaran sebagai berikut:
- Selalu melaksanakan tugas sesuai dengan aturan/kesepakatan.
- Bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukan (Narwanti, 2011:69).
Dalam buku yang lain disebutkan ada 8 nilai-nilai pendidikan karakter
yang masih bisa diperinci dan ditambahkan nilai-nilai yang lainnya yaitu
(Koesoema, 2011:208):
- Nilai keutamaan
- Nilai keindahan
- Nilai kerja
- Nilai cinta tanah air (patriotisme)
- Nilai demokrasi,
- Nilai kesatuan.
- Nilai-nilai kemanusiaan
Menghayati nilai-nilai kemanusiaan mengandaikan sikap keterbukaan terhadap kebudayaan lain, termasuk kultur agama dan keyakinan
yang berbeda. Yang menjadi nilai bukanlah kepentingan kelompokku
sendiri, melainkan kepentingan yang menjadi kepentingan setiap orang,
seperti keadilan, persamaan di depan hukum, kebebasan, dan lain
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar