Pembelajaran Pemberdayaan Nasionalisme Di Indonesia
Beberapa tahun terakhir ini sering kita mendengar suara yang menyatakan
bahwa nasionalisme kita telah merosot. Sesudah Proklamasi 17 Agustus
1945 nasionalisme rupanya sudah tidak diperlukan lagi. Masalah pemenuhan
kebutuhan sehari-hari, khususnya ekonomi, merupakan keperluan bangsa
yang lebih mendesak.
Gambaran tentang keteladanan elite politik dan tokoh-tokoh masyarakat
seringkali mengecewakan. Sikap hidup materialistik dan gaya konsumtif,
korupsi, dan penyalahgunaan jabatan, menjadi isu santer di kalangan
masyarakat kita. Seburuk itukah persepsi kita tentang nasionalisme
bangsa Indonesia yang telah ditumbuhkembangkan dari generasi ke generasi
?. Untuk menjawabnya tentu saja tidak cukup dengan menyanyikan lagu
“Halo-halo Bandung”, “Indonesia Raya”, “Satu Nusa Satu Bangsa”, tetapi
melihat kembali akan pesan-pesan moral dan makna peristiwa sejarah yang
dimunculkan pada setiap upacara peringatan hari besar nasioanal sebagai
saluran peneguh integrasi bangsa.
Ketika memasuki tanggal 28 Oktober 2011, bangsa kita telah melakukan
peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-83. Para pegawai negeri dan komponen
masyarakat lain termasuk mahasiswa telah melakukan apel bendera disertai
menyanyikan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”. Di samping acara yang telah
rutin itu, kita akan selalu dihadapkan pada serentetan peringatan
nasional lain seperti “Peringatan Kemerdekaan RI setiap tanggal 17
Agustus” dan “Peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember” yang kesemuanya
diharapkan dapat mengingatkan pada peristiwa bersejarah itu serta
membangkitkan kesadaran tentang makna yang terkandung di dalamnya.
Dengan mengenang peristiwanya kita diingatkan kemdali pada pesan moral
dan makna historisnya, sehingga akan dapat memperkuat kesatuan dan
persatuan .
Bagi bangsa kita, peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober, Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus, dan 10 Nopember merupakan suatu momentum yang
ditandai oleh suasana reflektif tentang perjuangan anak bangsa dalam
rangka membangun komitmen bersatunya wilayah, bangsa, dan bahasa
nasional. Perpaduan nilai kejuangan mereka pada hahekatnya merupakan
suatu tafsir nasionalisme yang tidak dibatasi oleh sentimen suku, ras,
agama, dan adat istiadat. Secara simbolik, ketiga peristiwa itu dapat
dipandang sebagai terpatrikannya secara resmi adanya kehendak untuk
bersatu menjaga dan mengembalikan harkat dan martabat anak bangsa dari
beragam bentuk keterikatan kesejahteraan dan keamanan.
Metode
Tulisan ini menggunakan metode sejarah yang diawali dengan mengumpulkan
sumber penulisan melalui studi pustaka. Sumber-sumber yang digunakan
berupa buku-buku yang memuat informasi tentang fenomena historis yang
menyangkut lahir dan perkembangan organisasi pergerakan nasional sebagai
wadah pemberdayaan nasioanlisme di Indonesia.
Selanjutnya dilakukan kritik sumber, yaitu memilih dan menentukan sumber
yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Tahap selanjutnya
melakukan interpretasi sumber untuk mensintesekan fakta-fakta yang
ditemukan. Langkah terakhir adalah historiografi, yaitu proses penulisan
sejarah berdasarkan fakta-fakta yang telah diperoleh.
Terminologi Nasionalisme
Nasonalisme dapat dianalogkan etno-sentrisme atau pandangan yang
terpusat pada bangsanya. Gejala seperti semangat nasional dan kebangaan
nasional ternyata melekat pada semua bangsa. Sebagai gejala umum, maka
tujuan nasionalisme untuk mensosialisasikan diri dengan suatu kelompok
(bangsa) yang memiliki kesamaan politis, psikologis, ideologis, dan
sosio-kultural.
Timbulnya nasionalisme disebabkan oleh faktor subyektif dan obyektif.
Faktor subyektif berupa kemauan, sentimen, dan aspirasi manusia,
sedangkan faktor obyektifnya merupakan kondisi ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan (Suhartono, 2001:
7). Sehubungan dengan itu, ada beberapa pengertian tentang
nasionalisme. Huszar dan Stevenson mengatakan bahwa nasionalisme :
primarily, it assert that the nation is the natural and desirable
political unit (Huszar dan Stevenson, 1961: 51). Sementara itu, Stoddard
: nationalism is a belief, held by a fairly largenumber of indivials,
that they constitute a nationality (Aminuddin Nur, 1967: 92). Dari kedua
batasan pengertian itu menunjukkan bahwa nasionalisme adalah suatu
faham, pandangan, keyakinan, kemauan bersama dari sekelompok manusia
untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa, anpa memandang perbedaan
kebudayaan, suku, dan agama.
Nasionalisme dapat di pandang dari dua sikap nasional yang berlawanan,
yaitu sikap negatif dan positif. Nasionalisme sebagai sikap negatif atau
chauvism, yaitu sikap bangsa yang berlebihan (superior), sempit, dan
sombong. Sikap ini tidak menghargai orang atau bangsa lain sebagaimana
mestinya. Apa saja yang dipandang dapat menguntungkan bangsa sendiri
itulah yang dianggap benar, hak, dan wajar (right or wrong my country),
bahkan syah jika mereka merampas hak dan kepentingan bansa lain. Adapun
di sisi lain, nasionalisme sebagai sikap nasional yang positif yakni
mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan dan harga diri bangsanya tetapi
menghormati bangsa lain. Nasionalisme yang jenis kedua ini akan sangat
bermanfaat untuk membina dan memperkuat persatuan dan kesatuan suatu
bangsa heterogen. Oleh karena itu, nasionalisme harus diberdayakan
setiap saat.
Nasionalisme Indonesia
Timbulnya nasionalisme di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan
kolonialisme Belanda. Usaha menolak kolonialisme inilah yang merupakan
kekuatan imbangan (Sartono Kartodirdjo, 1967: 51-62) terhadap kondisi
sisio-politik yang buruk, yaitu dengan jalan mengadakan reaksi sesuai
dengan kekuatan yang ada.
Ekploitasi ekonomi dan penetrasi politik kolonial menjadi tantangan bagi
bangsa Indonesia sebagai rakyat di tanah jajahan dengan secara kolektif
mempersatukan diri guna merubah situasi yang ada ke arah kebebasan
global . Kesadaran inilah yang mendorong timbulnya kesadaran nasional,
perasaan nasional, dan kehendak nasional yang dinyatakan dalam beragam
cara (Suhartono, 2001: 8).
Kemunculan nasionalisme Indonesia yang tidak memandang perbedaan adat
istiadat, suku, agama, dan rasial dipelopori oleh sekelompok mahasiswa
yang tergabung dalam Indonesische Vereeniging (IV) pada tahun 1922 yang
pada tahun 1925 berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). PI
sebagai organisasi politik radikal bertujuan untuk :
- Menyadarka para mahasiswa agar memiliki komitmen yang bulat tentang persatuan dan kemerdekaan Indonesia;
- Meyakinkan rakyat Indonesia tentang kebenaran perjuangan kaum nasionalis;
- Mengembangkan ideologi yang bebas dan kuat di luar pembatasan Islam dan Komunisme (Ingleson, 1988:
- Untuk merealisasikan tujuannya, PI berpedoman pada empat pokok pikiran, yaitu kesatuan nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan swadaya PI menyadari bahwa baik Islam maupun komunis ternyata tidak bisa bersatu menggerakkan seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu koloalisme.
Kesadaran semangat kebangsaan ini kemudian melahirkan Partai Nasional
Indonesia (PNI) pada pertengahan tahun 1927. Kehadiran PNI ternyata
menjadi pelopor kesadaran dan perjuangan nasional yang mendapat dukungan
secara meluas di kalangan rakyat tanah jajahan.
Pada tahun 1930 perjuangan PNI diganjal oleh pareturan pemerintah
kolonial. PNI sebagai organisasi kaum nasionalis dibekukan ruang
geraknya di bidang politik.Para pemimpinnya ditangkap, diadili, dan
dihukum dengan tuduhan menentang pemerintah dan mengganggu ketertiban
umum. Semua organisasi politik radikal dipaksa merubah strategi
perjuangannya menjadi organisasi moderat parlementer dengan stategi
perjuangan parlementer. Sekalipun demikian, semangat dan kesadaran
nasional di kalangan kaum nasionalis tidak padam begitu saja, tetapi
tetap eksis sampai pada tercapainya tujuan yakni perumusan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan pengakuan
kedaulatan penuh tahun 1949.
Setelah kumandangnya teks Proklamasi, bentuk nasionalisme Indonesia
dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, semangat dan kesadaran nasional
tetap membara untuk menentang praktek-praktek kolonialisme, berevolusi,
dan sebagai ideologi hanya mempersoalkan keyakinan serta semangat tanpa
memperhitungkan akibatnya.
Nasionalisme ideologis seperti ini memilih sasarannya di sektor ekonomi,
politik mercusuar. Kegagalan nasionalisme ideologis tahun 1965 segera
diikuti dengan bentuk nasionalisme yang kedua yang lebih realistik yakni
membangun semangat dan kesadaran kebangsaan melalui program pembangunan
nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang
sejahtera dan aman. Proses pencapaian kondisi masyarakat yang demikian
itu pemberdayaan nasionalisme bisa dianalogkan dengan ketahanan nasional
yang bersendikan keadaan masyarakat yang religius, serba selaras, dan
kekeluargaan.
Memberdayakan Nasionalisme
Memberdayakan nasionalisme, suatu istilah yang pernah populer merupakan
suatu usaha membina bangsa supaya sadar akan harga dirinya sebagai
bangsa merdeka yang berdaulat dan mampu menjaga dan mengembangkan
eksistensi negara.
Proses pemberdayaan nasionalisme telah berjalan di Indonesia sejak masa
pergerakana nasional. Suatu bangsa yang modern tidak cukup hanya dibina
dengan slogan-slogan, pidato, mendirikan gedung-gedung megah, hotel
berbintang atau supermarket mewah. Cara yang demikian ini akan membentuk
karakter masyarakat yang mengharapkan perbaikan hidup di atas
perhitungan rumus-rumus magis dan show yang berlebihan. Bangsa modern
juga dibangun tidak semata-mata dengan bantuan modal asing, tetapi lebih
diutamakan usaha dan keringat sendiri dengan prinsip kerja keras,
tekun, hidup hemat sesuai kemampuan, bersikap adil dan disiplin.
Kejayaan suatu bangsa terletak dalam otak dan sikap manusia. Bangsa yang
pandai dan rajin sekalpun tidak didukung dengan sumber kekayaan alam
yang melimpah ternyata dapat mewujudkan masyaraka yang sejahtera dan
aman seperti Jepang, Swiss, dan Singapura, Sebaliknya, negara yang kaya
sumber daya alamnya akan tetap menjadi miskin jika tidak dapat mengolah
kekayaannya sendiri.
Salah satu syarat dalam membangun nasionalisme suatu bangsa adalah
melalui pengembangan kualitas sumber daya manusia. Dengan pendidikan
yang berkualitas, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun organisasi,
akan diperoleh generasi muda yang berkulitas. Di samping mencetak anak
didik pandai, cerdas dan rajin, pendidikan juga harus membangun
mentalitas yang bertanggungjawab, disiplin, jujur, memiliki inisitif dan
daya kreatif. Untuk itu, kurikulun pada lembaga pendidikan hendaknya
direncanakan secara selaras antara kebutuhan lokal dengan nasional,
sehingga tersedia tenaga-tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Seluruh warga negara tanpa mebedakan agama, suku, ras, dan
golongan memperoleh kesempatan yang sama dalam dunia pendidikan,
pekerjaan, dan berbagai sektor lainnya.
Para elite politik, pejabat, tokoh masyarakat sudah waktunya untuk
memberikan keteladanan sikap dan gaya hidup yang benar, bekerja penuh
tanggungjawab, teratur, tidak korup. Sementara itu, para bawahan, rakyat
pada
umumnya mempunyai kuajiban untuk mendukung usaha yang baik dari pihak atasannya.
Munculnya nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
kolonialisme. Situasi kolonial yang diperkuat dengan penetrasi politik
diskriminatif menjadi tantangan kaum muda terpelajar Indonesia untuk
melepaskan diri dari berbagai bentuk keterbelakangan. Perjuangan mereka
melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan prestasi gemilang
yang dapat menjadi representasi eksistensi peran kepemudaan pada masa
itu. Sumpah Pemuda ternyata tidak berhenti pada makna simbolik
bersatunya kaum muda Indonesia, tetapi menunjukkan keterpaduan nilai
kejuangan untuk membangun komitmen kesatuan wilayah, bangsa, dan bahasa.
Melalui beragam organisasi modern sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945, kaum muda telah mengambil peran strategis dalam rangka
integrasi nasional. Bahkan pada masa revolusi 1965, gerakan pemuda telah
mengambil bagian dalam membela bangsa dan negara melalui wadah KAMI dan
KAPPI.
Pada pemerintahan Orde Baru peran kaum muda masih sangat signifikan
melalui gerakan Malari 1975. Gerakan mahasiswa 1998 untuk menumbangkan
pemerintahan Suharto ternyata berhasil dengan baik.
Peran strategis kaum muda untuk memberdayakan nasionalisme pada era
reformasi ditandai dengan mampu mengawal dan mempertahan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti kasus Ambon.
Dengan demikian keterlibatan kaum muda dalam gerakan perubahan tentunya
dapat menggugah dan membangkitkan kesadaran nasional di kalangan kaum
muda kekinian tentang pesan moral dan makna kesejarahan yang
dipantulkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar