Aplikasi Dan Peranan Pendidikan Ki Hajar Dewantara
A. Aplikasi Pandangan Ki Hadjar Dewantara Dalam Pendidikan
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia
dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan
teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi
yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya,
seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya
melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai
sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.
Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak
lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh
kemajuan teknologi.
Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia
seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini
seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan
“to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya)
daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya).
Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang
pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang
menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak
sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu.
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi
manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya,
sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara
menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa
(konatif)).
Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” Di
tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia
makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan
terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek
yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya
sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas
dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya
diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke
aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia.
Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada
aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta
didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia
lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja
akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual
belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan
ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada
pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa
dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis
atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia
yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu
berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu
cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan
mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu
berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi
manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu
sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Ki Hajar
Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan
sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke
guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta
didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para
guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan
juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama
adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian
sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara
sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di
bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara
Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai
pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya
adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan
dan membawa keselamatan. Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman
Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun
kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama
dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan,
musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan
disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun
budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka
dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada
aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa
yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun
spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law),
segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan.
Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta,
kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.
Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan
penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk
menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual;
pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab
akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya
setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus
tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya
diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan
guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi
kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah
peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental,
cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab
atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain.
Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among
yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah
dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan
manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar
Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart,
and the hand”. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar
(fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta
didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya
dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi
administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap
profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri
dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula
membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi
pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan
keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting
juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik,
intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian
serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu
kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan
secara utuh setiap peserta didik. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa
tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya
menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan
berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri
dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.
B. Peranan Ki Hadjar Dewantara Dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia Saat Ini
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara,
Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan
tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam
arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi),
yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada
pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik
kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi
sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia
Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden
dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri”
sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi).
Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya
pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik
mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya.
Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus
dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus
bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia
dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan
pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi
berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini
dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas,
moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik,
meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya
dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar
dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat
dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya
menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu
dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang
berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru
hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan
juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model
keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar
adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan
keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya
adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia,
mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita
juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka
banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki
3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan
spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa
yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun
spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law),
segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip
dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta,
kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.
Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan
penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk
menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual;
pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab
akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya
setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus
tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya
diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan
guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi
kebahagiaan para peserta didiknya.
Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang
berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi
anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan
dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara,
metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem
among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih,
asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala,
hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar,
hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian pada hari
ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru dan
di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang
senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan
dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta
didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka ‘perilaku’ seorang
guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan
pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang
akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan social peserta didik. Secara
psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar
peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas
dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun
orang lain.
Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar Dewantara maka
seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari
jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari
‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah
kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain.
Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa,
sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang
guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan
professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional
disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari
‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya.
Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru
untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’
dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan
pancaindera peserta didiknya.
Proses memindahkan segala’keteladanan diri’ pengetahuan diri dan
perilaku professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan
teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan
sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu
‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga
harus mampu menjadi motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena
Motivator memiliki kekuatan sinergis antara mengajar dan mendidik
seperti motivasi dari pendidikan KiHajar itu sendiri.
C. Urgensitas Pendidikan Karakter Dan Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara
“Karakter yang ingin kita bangun bukan hanya kesantunan, tetapi secara
bersamaan kita bangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaranan
intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi,”
katanya. Seolah pernyataan menunjukkan isyarat bahwa sudah saatnya kita
kembali merefleksi konsepsi pendidikan kita saat ini berjalan. Sebab
konsepsi pendidikan karakter sebenarnya merupakan hasil pemikiran luhur
dari Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara.
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi
pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan
masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan
falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni
tringa yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni . Ki Hadjar
mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang
kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan
pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak
merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan
tidak memperjuangkannya. Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak
melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak
akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan
cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia
harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula
perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan
perjuangan itu. “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”,
“Ngelmu tanpa laku kothong”, laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa
perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu,
agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang
perbuatan harus dengan ilmu.
Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010)
menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti
plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga
aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan
pendidikan karakter yang diterapakan secara sistematis, dan
berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, seorang anak
akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal
penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi segala
macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu
- Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
- Kemandirian dan tanggung jawab;
- Kejujuran/amanah, diplomatis;
- Hormat dan santun;
- Dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama;
- Percaya diri dan pekerja keras;
- Kepemimpinan dan keadilan;
- Baik dan rendah hati;
- Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik
dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting
the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami,
merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan.
Bisa dimengerti, jika penyebab ketidakmampuan seseorang untuk
berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak mengetahui, karena anak
tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan kebajikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar