Diagnosis Masalah Mencontek Secara Umum
A.
Latar
Belakang
Dalam
kehidupan ini manusia tidak dapat lepas dari pendidikan. pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pemebelajaran agar peserta didik secara aktif mngmbangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU no 20 Tahun 2003). Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya
melalui proses pendidikan (Dwi Siswoyo dkk, 2011: 96). Dari pengertian pendidikan
tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan terdapat rangkaian aktivitas belajar,
termasuk ujian. Ujian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui tingkat keberhasilan
belajar para peserta didik, jika tingkat keberhasilan dapat dicapai maka peserta
didik /siswa tersebut dapat dinyatakan lulus dalam mata pelajaran yan diujikan
tersebut. kadang ujian dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan oleh sebagian peserta
didik, sebab hal ini dapat menentukan naik kelas atau tidaknya suatu peserta
didik, lulus atau tidaknya suatu siswa tersebut. Oleh karena itu berbagai usaha
dilakukan oleh guru/pendidik dan siswa/peserta didik agar dapat mengatasi ujian
tersebut, misalnya dengan diadakan jam pelajaran tambahan/pengayaan, mengikuti
les, dan lain lain. Upaya itu dilakukan sebagai persiapan dalam menghadapi
ujian. Namun pada pelaksanakan ujian ditemukan siswa atau orang yang diuji
tersebut melakukan berbagai kecurangan seperti mencontek, menyuap pengawas,
dll. Praktek mencontek ini banyak dilakukan oleh banyak dilakukan oleh para peserta
didik atau para peserta ujian. Peserta didik tersebut didapati di sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, kedaaan ini sangat memprihatinkan. Bahkan tidak
sedikit pula guru (/pendidik yang sedang diuji (mengerjakan tes ujian) melakukan
perbuatan mencontek. Ataupun orang yang melakukan tes tulis dalam tes masuk
kerja atau lainnya, yang lebih mencengangkan lagi adalah mencontek yang
dilakukan secara berjamaah
(bersama-sama). Menurut Sutari dan Imam Barnadib (dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011:
127), pendidik adalah setiap orang yang sengaja mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Artinya pendidik memiliki
peranan penting untuk meningkatkan kualitas manusia ke arah yang lebih baik
dalam mencapai kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah. Disebutkan pula syarat
seorang pendidik menurut Imam Al-Ghozali (dalam Abdul Rachman Assegaf, 2011: 8)
yaitu mampu bersikap belas kasih, senantiasa memberi nasihat, melarang murid
berbuat jahat, mengajar sesuai dengan daya kemampuan peserta didik, dan seorang
guru haruslah mengamalkan ilmunya. Namun bagaimana pendidik yang mencontek
kemudian ia memberikan nasehat kepada muridnya, tentunya apa yang diajarkan
oleh pendidik bertentangan dengan dirinya sendiri atau pendidik tersebut tidak
mengamalkan ilmunya sebagaimana mestinya, kemudian nasehat tersebut tidak
memiliki power untuk mengerakan
peserta didiknya. Pendidik yang melakukan perbuatan yang tidak pantas sebagai
pendidik tidak dapat menjalankan perannya sebagai pendidik, apalagi tidak
memenuhi persyaratan yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghozali.
Kemudian
ada juga perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh para pelaku pendidikan,
perbuatan yang dimaksud adalah plagiasi. Plagiasi adalah pemanfaatan atau
penggunaan hasil karya hasil karya orang lain orang lain yang diakui sebagai
hasil yang diakui sebagai hasil kerja diri sendiri, tanpa memberi pengakuan
pada penciptanya yang asli.
Jika
tunas bangsa/generasi penerus melakukan perbuatan yang tidak semestinya, jika
pendidik melakukan perbuatan tersebut, bagaimana dengan peserta didiknya. hal
ini menjadi dilema, dari sudut pandang pengertiannya perbuatan
mencontek/plagiasi sudah bertentangan. Kemudian Mencontek merupakan salah satu bentuk
kebohongan, tentu berbohong atau berdusta bukanlah akhlak mulia seperti pada
pengertian pendidikan, orang yang melakukan mencontek/plagiasi berarti tidak
dapat mengendalikan dirinya, sebab sebenarnya dalam hati nuraninyapun tidak
menghendaki hal yang demikian. Menurut K. Bertens (1992: 56) Hati nurani adalah
instasi dari dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan
kita, secara langsung kini dan di sini. Dengan hati nurani kita maksudkan
penghayatan baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita.
Kemudian banyak juga hasil kebohongan tersebut digunakan untuk mencapai hal lainnya.
Contohnya sudah banyak hasil contekan/plagiasi yang digunakan untuk mendapat
jabatan/melamar kerja. Lalu bagaimana jika hasil mencontek digunakan untuk
melamar kerja? Bagaimana dengan jabatan yang diperoleh dengan cara kebohongan
tersebut? Apakah orang tersebut dapat bertanggungjawab atas jabatannya
tersebut. Sungguh masalah ini menjalar ke dalam bidang lainnya. Jika kondisi
dunia pendidikan saja tersebut (banyak pelaku pendidikan yang mencontek)`
bagaimana dengan bidang lainnya, seperti bidang ekonomi, politik,
budaya-sosial, dll. Sebab pendidikan merupakan induk/dasar dari pergerakan
bidang-bidang lain.
Para
pelaku pendidikan khususnya para peserta didik hendaknya tidak melakukan
perbuatan mencontek, sebab pendidikan merupakan dasar/induk dari bidang
lainnya. Jika pendidikan sudah rusak, maka tidak mustahil bidang-bidang lainnya
juga berpeluang untuk tercemar. Sebab adanya pencontek-pencontek yang
menggekuti profesi pada bidang-bidang tersebut. Tujuan pendidikan bukanlah
mencentak generasi pencontek/plagiator, tujuan pendidikan menurut penulis yaitu
membuat orang menjadi baik sesuai dengan keyakinannnya (agama), hal ini di
dasarkan pada hadits yang mengenai
sebab diutusnya rasul ke bumi yaitu rasul diutus ke ke bumi yaitu untuk
memperbaiki akhlak manusia serta menjadi teladan bagi seluruh umat (seluruh
manusia yang ada di bumi pada saat hadirnya beliau hingga seluruh manusia saat
ini dan seluruh manusia yang akan datang). Dalam UU No 20 Tahun 2003 Pasal 3
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan negara Indonesia adalah” untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggungjawab”. Dalam isi pasal
tersebut disebutkan bahwa setiap pengembangan potensinya berpijak pada keimanan
dan ketaqwaan terhadap kepercayaan (agama) yang dianutnya, sebab keimanan dan
ketaqwaan ditempatkan pada urutan yang awal, kemudian dilajutkan dengan
berakhlak mulia serta kompetnsi-kompetensi lainnya. Hal ini dilakukan untuk
mencetak generasi yang benar sekaligus pintar. Sebab jika pintar tapi tidak
benar, maka pada hakekatnya itu tidak tidak dibutuhkan. Contohnya pada bidang
hukum, pisau hukum dibuat tajam pada bagian bawah saja, sedangkan bagian
atasnya tumpul. Maksudnya hukum hanya ditegakan untuk kalangan bawah sedangkan
kalangan atas menjadi kebal terhadap hukum. maka orang yang ada di dalam hukum
tersebut merupakan salah satu penyebab diskriminasi hukum. kemudian akibat dari
hukum yang seperti ini maka banyak ditemuinya street juctice sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap hukum,
contoh selanjutnya yaitu adanya korupsi, kecurangan penimbangan dan lain lain.
Dalam
masalah-masalah tersebut pendidikan yang tidak benar dapat menyebabkan
masalah-masalah tersebut. Pelajar/peserta didik sebenarnya berfungsi sebagai
penerus generasi selanjutnya, pelajar sebagai penggerak ke arah yang lebih
baik/perubahan, serta sebagai kontrol sosial. Jika pelajar saja banyak yang
mencotek atau plagiasi, maka pelajar tersebut tidak dapat menjalankan
fungsinya.
B.
Identifikasi
Masalah
Dari latar belakang di
atas dapat diidentifikasi masalah-masalah tersebut yaitu :
1. Adanya
praktek-mencontek hampir dari seluruh jenjang pendidikan bahkan sebagain besar
lapisan masyarakat.
2. Masalah
dalam dunia pendidikan dapat mempengaruhi/berdampak bidang-bidang lainnya
seperti bidang pilitik, ekonomi, sosial-budaya,
dll.
3. Bebagai
motif dalam mencontek yang mendorong para peserta didik mencontek.
4. Masa
depan pendidikan Indonesia menjadi suram dengan adanya praktek
contek-mencontek.
5. Akar
dari permasalahan dari mencontek/plagiasi berpangkal pada hati individu.
6. Perlunya
diupayakan pengurangan mencontek dengan pendekatan spiritual.
C.
Pembatasan
masalah
Agar penulisan ini lebih jelas dan terarah, diperlukan pembatasan
masalah. Adapun penelitian ini akan difokuskan pada
sebab yang sebenarnya orang melakukan perbuatan mencontek (motif), akar masalah
dari mencontek.
D.
Diagnosis
Masalah Mencontek
Sebenarnya
apa motif apa saja yang membuat para pelaku pendidikan melakukan perbuatan
mencontek, ada beberapa motif tentunya. Motif yang pertama ketakutan
siswa/peserta didik jika tinggal kelas/tidak lulus sehingga orang tersebut
memilih mencontek agar terhindar dari rasa malu, motif selanjutnya yaitu adanya
keinginan agar pelaku tersebut mendapat
predikat baik/nilai yang tinggi jika dilihat dari sudut pandang kuantitatif,
atau adanya gengsi dengan teman lain. Motif yang ketiga adalah ketidaksiapan
seseorang dalam mengerjakan soal-soal tersebut. motif yang keempat yaitu adanya
teman-teman yang mencontek sehingga orang yang tidak mencontek tersebut ikut
mencotek juga kerana tidak mau rugi dalam memperoleh skor. Kemudian motif
karena adanya kesempatan atau peluang untuk mencontek, hal ini ditentukan oleh
kondisi ujian saat itu. Motif selanjutnya yaitu kebiasaan orang tersebut dalam
aktivitas mencontek, orang tersebut telah melakukan perbuatan yang sama dari
waktu ke waktu, bahkan ada juga orang yang mampu mengerjakan ujian tetapi orang
tersebut mencontek hal ini disebabkan karena tidak adanya rasa percaya diri
dari orang tersebut. dan masih banyak lagi motif mencontek tersebut. Jika
motif-motif itu disimpulkan, kedua terdapat motif dari dalam, dan motif dari
luar. Perbuatan mencontek dilakukan sebab kejujuran dan keyakinan seseorang
sudah mulai pudar, kejujuran ini merupakan akhlak yang terpuji. Ketika
seseorang tidak jujur maka hati nuraninya tertutup oleh/terbelenggu oleh
keburukan yang mendominasi di dalam dirinya. Sebab dari dalam individulah yang
menjadi kekuatan yang besar dalam mengambil keputusan, termasuk dalam
menguatkan dirinya agar tidak mencotek walau dirinya dihadapkan dalam situasi
yang sulit dalam mnegejarkan soal-soal. Penulis juga memandang bahwa masalah contek-mencontek
berpangkal pada pada hati manusia. Seperti yang sudah disebutkan pada paragraf
sebelumnya bahwa hati yang terbelenggu oleh keburukan sehingga orang tersebut
tidak peduli dengan baik buruk.
Daftar
Pustaka
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dwi Siswoyo, dkk. Ilmu
Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Assegaf, Abdul
Rochman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam
Paradigma Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar