Senin, 09 Januari 2017

Diagnosis Masalah Mencontek Secara Umum

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan ini manusia tidak dapat lepas dari pendidikan. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pemebelajaran agar peserta didik secara aktif mngmbangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual  keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU no 20 Tahun 2003). Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses pendidikan (Dwi Siswoyo dkk, 2011: 96). Dari pengertian pendidikan tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan terdapat rangkaian aktivitas belajar, termasuk ujian. Ujian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui tingkat keberhasilan belajar para peserta didik, jika tingkat keberhasilan dapat dicapai maka peserta didik /siswa tersebut dapat dinyatakan lulus dalam mata pelajaran yan diujikan tersebut. kadang ujian dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan oleh sebagian peserta didik, sebab hal ini dapat menentukan naik kelas atau tidaknya suatu peserta didik, lulus atau tidaknya suatu siswa tersebut. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan oleh guru/pendidik dan siswa/peserta didik agar dapat mengatasi ujian tersebut, misalnya dengan diadakan jam pelajaran tambahan/pengayaan, mengikuti les, dan lain lain. Upaya itu dilakukan sebagai persiapan dalam menghadapi ujian. Namun pada pelaksanakan ujian ditemukan siswa atau orang yang diuji tersebut melakukan berbagai kecurangan seperti mencontek, menyuap pengawas, dll. Praktek mencontek ini banyak dilakukan oleh banyak dilakukan oleh para peserta didik atau para peserta ujian. Peserta didik tersebut didapati di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kedaaan ini sangat memprihatinkan. Bahkan tidak sedikit pula guru (/pendidik yang sedang diuji (mengerjakan tes ujian) melakukan perbuatan mencontek. Ataupun orang yang melakukan tes tulis dalam tes masuk kerja atau lainnya, yang lebih mencengangkan lagi adalah mencontek yang dilakukan secara berjamaah (bersama-sama). Menurut Sutari dan Imam Barnadib (dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011: 127), pendidik adalah setiap orang yang sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Artinya pendidik memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas manusia ke arah yang lebih baik dalam mencapai kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah. Disebutkan pula syarat seorang pendidik menurut Imam Al-Ghozali (dalam Abdul Rachman Assegaf, 2011: 8) yaitu mampu bersikap belas kasih, senantiasa memberi nasihat, melarang murid berbuat jahat, mengajar sesuai dengan daya kemampuan peserta didik, dan seorang guru haruslah mengamalkan ilmunya. Namun bagaimana pendidik yang mencontek kemudian ia memberikan nasehat kepada muridnya, tentunya apa yang diajarkan oleh pendidik bertentangan dengan dirinya sendiri atau pendidik tersebut tidak mengamalkan ilmunya sebagaimana mestinya, kemudian nasehat tersebut tidak memiliki power untuk mengerakan peserta didiknya. Pendidik yang melakukan perbuatan yang tidak pantas sebagai pendidik tidak dapat menjalankan perannya sebagai pendidik, apalagi tidak memenuhi persyaratan yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghozali.
Kemudian ada juga perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh para pelaku pendidikan, perbuatan yang dimaksud adalah plagiasi. Plagiasi adalah pemanfaatan atau penggunaan hasil karya hasil karya orang lain orang lain yang diakui sebagai hasil yang diakui sebagai hasil kerja diri sendiri, tanpa memberi pengakuan pada penciptanya yang asli.
Jika tunas bangsa/generasi penerus melakukan perbuatan yang tidak semestinya, jika pendidik melakukan perbuatan tersebut, bagaimana dengan peserta didiknya. hal ini menjadi dilema, dari sudut pandang pengertiannya perbuatan mencontek/plagiasi sudah bertentangan. Kemudian  Mencontek merupakan salah satu bentuk kebohongan, tentu berbohong atau berdusta bukanlah akhlak mulia seperti pada pengertian pendidikan, orang yang melakukan mencontek/plagiasi berarti tidak dapat mengendalikan dirinya, sebab sebenarnya dalam hati nuraninyapun tidak menghendaki hal yang demikian. Menurut K. Bertens (1992: 56) Hati nurani adalah instasi dari dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita, secara langsung kini dan di sini. Dengan hati nurani kita maksudkan penghayatan baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Kemudian banyak juga hasil kebohongan tersebut digunakan untuk mencapai hal lainnya. Contohnya sudah banyak hasil contekan/plagiasi yang digunakan untuk mendapat jabatan/melamar kerja. Lalu bagaimana jika hasil mencontek digunakan untuk melamar kerja? Bagaimana dengan jabatan yang diperoleh dengan cara kebohongan tersebut? Apakah orang tersebut dapat bertanggungjawab atas jabatannya tersebut. Sungguh masalah ini menjalar ke dalam bidang lainnya. Jika kondisi dunia pendidikan saja tersebut (banyak pelaku pendidikan yang mencontek)` bagaimana dengan bidang lainnya, seperti bidang ekonomi, politik, budaya-sosial, dll. Sebab pendidikan merupakan induk/dasar dari pergerakan bidang-bidang lain.
Para pelaku pendidikan khususnya para peserta didik hendaknya tidak melakukan perbuatan mencontek, sebab pendidikan merupakan dasar/induk dari bidang lainnya. Jika pendidikan sudah rusak, maka tidak mustahil bidang-bidang lainnya juga berpeluang untuk tercemar. Sebab adanya pencontek-pencontek yang menggekuti profesi pada bidang-bidang tersebut. Tujuan pendidikan bukanlah mencentak generasi pencontek/plagiator, tujuan pendidikan menurut penulis yaitu membuat orang menjadi baik sesuai dengan keyakinannnya (agama), hal ini di dasarkan pada hadits yang mengenai sebab diutusnya rasul ke bumi yaitu rasul diutus ke ke bumi yaitu untuk memperbaiki akhlak manusia serta menjadi teladan bagi seluruh umat (seluruh manusia yang ada di bumi pada saat hadirnya beliau hingga seluruh manusia saat ini dan seluruh manusia yang akan datang). Dalam UU No 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan negara Indonesia adalah” untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab”.  Dalam isi pasal tersebut disebutkan bahwa setiap pengembangan potensinya berpijak pada keimanan dan ketaqwaan terhadap kepercayaan (agama) yang dianutnya, sebab keimanan dan ketaqwaan ditempatkan pada urutan yang awal, kemudian dilajutkan dengan berakhlak mulia serta kompetnsi-kompetensi lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencetak generasi yang benar sekaligus pintar. Sebab jika pintar tapi tidak benar, maka pada hakekatnya itu tidak tidak dibutuhkan. Contohnya pada bidang hukum, pisau hukum dibuat tajam pada bagian bawah saja, sedangkan bagian atasnya tumpul. Maksudnya hukum hanya ditegakan untuk kalangan bawah sedangkan kalangan atas menjadi kebal terhadap hukum. maka orang yang ada di dalam hukum tersebut merupakan salah satu penyebab diskriminasi hukum. kemudian akibat dari hukum yang seperti ini maka banyak ditemuinya street juctice sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap hukum, contoh selanjutnya yaitu adanya korupsi, kecurangan penimbangan dan lain lain.
Dalam masalah-masalah tersebut pendidikan yang tidak benar dapat menyebabkan masalah-masalah tersebut. Pelajar/peserta didik sebenarnya berfungsi sebagai penerus generasi selanjutnya, pelajar sebagai penggerak ke arah yang lebih baik/perubahan, serta sebagai kontrol sosial. Jika pelajar saja banyak yang mencotek atau plagiasi, maka pelajar tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya.
B.     Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah tersebut yaitu :
1.      Adanya praktek-mencontek hampir dari seluruh jenjang pendidikan bahkan sebagain besar lapisan masyarakat.
2.      Masalah dalam dunia pendidikan dapat mempengaruhi/berdampak bidang-bidang lainnya seperti bidang pilitik,  ekonomi, sosial-budaya, dll.
3.      Bebagai motif dalam mencontek yang mendorong para peserta didik mencontek.
4.      Masa depan pendidikan Indonesia menjadi suram dengan adanya praktek contek-mencontek.
5.      Akar dari permasalahan dari mencontek/plagiasi berpangkal pada hati individu.
6.      Perlunya diupayakan pengurangan mencontek dengan pendekatan spiritual.
C.    Pembatasan masalah
Agar penulisan ini lebih jelas dan terarah, diperlukan pembatasan masalah. Adapun penelitian ini akan difokuskan pada sebab yang sebenarnya orang melakukan perbuatan mencontek (motif), akar masalah dari mencontek.
D.    Diagnosis Masalah Mencontek
Sebenarnya apa motif apa saja yang membuat para pelaku pendidikan melakukan perbuatan mencontek, ada beberapa motif tentunya. Motif yang pertama ketakutan siswa/peserta didik jika tinggal kelas/tidak lulus sehingga orang tersebut memilih mencontek agar terhindar dari rasa malu, motif selanjutnya yaitu adanya keinginan  agar pelaku tersebut mendapat predikat baik/nilai yang tinggi jika dilihat dari sudut pandang kuantitatif, atau adanya gengsi dengan teman lain. Motif yang ketiga adalah ketidaksiapan seseorang dalam mengerjakan soal-soal tersebut. motif yang keempat yaitu adanya teman-teman yang mencontek sehingga orang yang tidak mencontek tersebut ikut mencotek juga kerana tidak mau rugi dalam memperoleh skor. Kemudian motif karena adanya kesempatan atau peluang untuk mencontek, hal ini ditentukan oleh kondisi ujian saat itu. Motif selanjutnya yaitu kebiasaan orang tersebut dalam aktivitas mencontek, orang tersebut telah melakukan perbuatan yang sama dari waktu ke waktu, bahkan ada juga orang yang mampu mengerjakan ujian tetapi orang tersebut mencontek hal ini disebabkan karena tidak adanya rasa percaya diri dari orang tersebut. dan masih banyak lagi motif mencontek tersebut. Jika motif-motif itu disimpulkan, kedua terdapat motif dari dalam, dan motif dari luar. Perbuatan mencontek dilakukan sebab kejujuran dan keyakinan seseorang sudah mulai pudar, kejujuran ini merupakan akhlak yang terpuji. Ketika seseorang tidak jujur maka hati nuraninya tertutup oleh/terbelenggu oleh keburukan yang mendominasi di dalam dirinya. Sebab dari dalam individulah yang menjadi kekuatan yang besar dalam mengambil keputusan, termasuk dalam menguatkan dirinya agar tidak mencotek walau dirinya dihadapkan dalam situasi yang sulit dalam mnegejarkan soal-soal. Penulis juga memandang bahwa masalah contek-mencontek berpangkal pada pada hati manusia. Seperti yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa hati yang terbelenggu oleh keburukan sehingga orang tersebut tidak peduli dengan baik buruk.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dwi Siswoyo, dkk.  Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Assegaf, Abdul Rochman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar