TEORI KONVERGENSI PENGERTIAN DAN TOKOHNYA
PENDAHULUAN
Pada pembahasan makalah kali ini penulis (kami) mencoba menjelaskan pengertian dari teori konvergensi dalam ilmu psikologi dan juga tokohnya. Teori konvergensi didalam ilmu psikologi merupakan sebuah teori yang tergolong masih baru dikarenakan teori ini merupakan gabungan dari teori nativisme dan teori empirisme yang kedua teori tersebut sangat erat kaitannya dengan paham filsafat. Sebelumnya pada bagian pendahuluan ini kami akan menjelaskan secara singkat pengertian paham nativisme dan empirisme terlebih dahulu dan memperlihatkan kelemahan kedua teori tersebut yang mengakibatkan munculnya teori konvergensi.
Empirisme
Teori empirisme menyatakan bahwa watak/kepribadian dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh secara inderawi, John Locke yang merupakan salah satu filsuf Inggris yang sangat mempengaruhi aliran empirisme memperkenalkan suatu diktum sebagai berikut: “Andaikan pikiran manusia sebagai kertas putih yang tak ada sama sekali materi di dalamnya, lalu, pikirkan bagaimana manusia caranya pikiran manusia bisa memiliki banyak corak? Darimana asalnya semua penalaran dan pengetahuan yang ada dalam diri manusia? Hal itu cuma memiliki satu jawaban yaitu pengalaman[1]. Locke mengandaikan pikiran manusia sebagai sebuah kertas putih / batu tulis yang disebut sebagai tabula rasa (sebenarnya konsep tabula rasa ini pertama kali diungkapkan oleh Aristoteles) yang diisi oleh pengalaman-pengalaman inderawi manusia yang berasal dari lingkungan sekitarnya, dalam artian bahwa tanpa pengalaman maka manusia hampir tidak mungkin untuk memproduksi pengetahuan & ilmu pengetahuan, melakukan proses belajar, introspeksi diri, dll. Namun, di lain sisi teori empirisme tetap mempunyai kelemahan dan kebanyakan para psikolog yang berseberangan alirannya dengan teori empiris mempertentangkan hal tersebut, contohnya adalah Steven Pinker berargumen bahwa meskipun kita mengijinkan pengalaman inderawi mempengaruhi pikiran dan sikap kita, adalah kesalahan dalam berfikir bahwa cara kerja otak manusia seperti komputer yang bisa mendownload materi kedalam otak dan menaruhnya dalam “file-file” tertentu, Pinker mengajukan pernyataan yang sangat sederhana, saat anda membaca sebuah buku pada halaman pertama, kemudian tutuplah buku tersebut dan tulis ulang semua kata-kata yang tertera di dalam halaman pertama buku tersebut secara akurat, ia yakin seseorang tidak akan mampu melakukan hal tersebut dan hanya mampu membuat intisari dari bacaan tersebut[2], karena pada dasarnya otak manusia diciptakan hanya dengan dua sistem proses berfikir yaitusemantic (pengartian & pemahaman) dan syntax (logika dan struktur).
Nativisme
Teori Nativisme menganggap bahwa manusia sudah memiliki watak/kepribadian yang bersifat pembawaan sejak lahir yang sering disebut sebagai innate / original idea (sebuah ide yang diperoleh tanpa melalui proses persepsi ataupun pengaruh dari lingkungan sekitarnya) selain itu hal ini seringkali berkaitan dengan konsep intelegensia seseorang. Selain itu ada juga yang disebut sebagai adventitious idea, yang mana sebuah ide atau konsep yang muncul (melalui proses kognisi) disebabkan oleh obyek yang ada di luar fikiran kita. Secara filsafati teori ini berasal dari paham rasionalisme Phytagoras seorang filsuf Yunani Kuno pada abad ke 6 sebelum masehi yang kemudian dikembangkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz, ia meragukan argumen John Locke diatas dan menyebutkan bahwa terdapat suatu “jiwa” (logos), “The question of the origin of our ideas and our maxims is not preliminary in Philosophy and we must have made great progress in order to solve it successfully, I think, however, that I can say that our ideas, even those of sensible things come from within our own soul[3]... Leibniz menyatakan bahwa hal-hal yang nyata oleh indra manusia sekalipun itu berasal dari jiwa. Argumen yang dibuat oleh Leibniz cenderung bersifat metafisika dan bersifat subyektif karena dalam paham filsafatnya Leibniz seringkali mengaitkannya dengan teologi namun begitu ia sangat percaya intelektualitas bersifat bawaan karena ia adalah seorang inventor (penemu) dibanding seorang filsuf murni seperti John Locke. Teori Nativis terutama sekali menyatakan bahwa faktor intelegensia seseorang ditentukan oleh faktor genetika, penelitian dibidang ini kebanyakan dilakukan oleh ahli biologi. Menurut paham nativisme bahwa cara berfikir dan berperilaku manusia sama sekali tidak berkaitan dengan faktor lingkungan di sekitarnya (secara psikologis masing-masing manusia mempunyai jati dirinya masing-masing yang bersifat unik). Hal ini mempunyai kebenaran jika misalnya dikaitkan dengan sejarah terciptanya ilmu matematika, Phytagoras misalnya tidak melakukan observasi empiris saat ia menciptakan rumus Phytagoras dan hal tersebut merupakan logika terstruktur yang ada didalam fikirannya menurut banyak orang hal tersebut adalah ide orisinil. Dari contoh tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa tidak selamanya pengamatan inderawi manusia turut mempengaruhi pemikirannya. Di dalam perkembangan ilmu psikologi selanjutnya, Franz Joseph Gall seorang fisiolog dari Jerman menciptakan metode yang dinamakan phrenology untuk melacak jejak pembawaan kepribadian seseorang namun karena kurang kuat dasar-dasar ilmiahnya (pseudo-science) maka metode ini tidak bertahan lama[4]. Contoh kejanggalan di dalam teori nativisme adalah bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan sebuah kegiatan (misalnya belajar berenang) tanpa adanya proses kesadaran yang didapat melalui saraf-saraf inderawi? Maka dari itu teori konvergensi muncul di dalam ilmu psikologi untuk menjembatani kedua paham yaitu : teori nativisme dan teori empirisme. Walaupun kebanyakan para ilmuwan di berbagai bidang saat ini lebih mempercayai pengetahuan manusia secara umum dibentuk melalui pengalaman.
DEFINISI TEORI KONVERGENSI & WILLIAM LOUIS STERN (1871-1938)
Teori Konvergensi (berasal dari kata Convergence (Inggris) yang berarti pertemuan di satu titik)) menyatakan bahwa pembentukan atau perkembangan kepribadian seseorang ditentukan oleh faktor pembawaan dan juga faktor lingkungan di sekitarnya, hal ini dikemukakan oleh salah satu tokohnya yaitu William Louis Stern[5]. William Louis Stern sendiri mendefinisikan bahwa ilmu psikologi adalah ilmu tentang individu yang mengalami / menghayati, dengan definisinya tersebut ia berusaha untuk menjembatani teori nativis dan teori empiris (jadi ia memakai/menganutnya kedua teori tersebut sekaligus)[6]. William Louis Stern merupakan ilmuwan yang memperkenalkan konsep IQ (Intellegent Quotient) kepada masyarakat luas yang masih bertahan sampai saat ini. Dasar teori dari konsep IQ ini sendiri ialah bahwa setiap orang memiliki taraf kecerdasan yang berbeda-beda[7]. Secara umum William Louis Stern merumuskan konsep IQ sebagai berikut :
Dimana[8] : MA = Mental Age (Usia Mental)
CA = Calendar Age (Usia Kalender)
Usia mental adalah usia yang didalam ilmu psikologi dianggap sebagai ukuran kecerdasan seorang anak di dalam melakukan aktifitas intelektual. Menurut William Stern, seseorang yang mempunyai taraf kecerdasan normal, mempunyai usia mental yang sama dengan usia kalendernya. Contohnya : Kalau usia mental anak tersebut 14 tahun dan usia kalendernya masih 12 tahun maka, nilai IQ anak tersebut sekitar 116. Jika usia kalendernya 8 tahun dan usia mentalnya 10 maka nilai IQ anak tersebut 125. William Louis Stern sendiri mengkategorikan nilai IQ > 100 sebagai lebih pandai dari rata-rata, nilai IQ 100 adalah rata-rata dan nilai IQ < 100 adalah di bawah normal. Tetapi perhitungan diatas hanya berlaku bagi seseorang yang masih berusia < 20 tahun, jika sudah > 20 tahun maka perlu digunakan tes khusus yang bisa langsung mengukur IQ tanpa harus membagi atau menghitung perbandingan seperti diatas[9], tetapi khusus untuk kategori nilainya tetap sama. Sedangkan didalam ilmu biopsikologi bahwa perilaku-perilaku dan intelegensia tidak hanya merupakan faktor bawaan ataupun lingkungan tetapi juga ada faktor lain yang sangat menentukan yaitu keadaan janin, nutrisi, stress dan rangsangan sensori[10]. Selain itu mereka para pakar biopsikologi percaya bahwa interaksi antara faktor bawaan dan pengalaman seseorang pada lingkungan atau situasi tertentu akan menghasilkan sebuah evolusi terhadap gen manusia (plasma pembawa sifat keturunan) yang otomatis akan menghasilkan perilaku-perilaku yang baru[11].
Pada bab selanjutnya kami membagi dua garis besar di dalam bidang intelegensia dan interaksi sosial yang berkenanaan dengan teori Konvergensi tersebut. Faktor intelegensia dan interaksi sosial merupakan sebuah isu klasik di dalam dunia psikologi, yang seringkali para pakar psikologi ataupun biopsikologi menyebutnya Nature-Nurture debate. Jauh sebelum para pakar psikologi yang lebih modern muncul, Rene Descartes pernah mengajukan konsepmind-body problem atau Cartesian Dualism di dalam filsafat yang mempunyai arti bahwa keberadaan atau kesadaran manusia oleh faktor jiwa (intelegensia) dan material/lingkungan. Yang sebenarnya mempunyai arti kurang lebih sama dengan paham teori konvergensi didalam ilmu psikologi. Maka dari itu penting bagi kami untuk mengkaji lebih dalam masalah tersebut didalam uraian di bawah ini.
· INTELEGENSIA
Didalam ilmu psikologi masalah intelegensia adalah salah satu bahasan pokok yang biasanya dibahas di dalam psikologi kognitif. Ia memberikan definisi intelegensi secara fungsional dan terbatas yaitu : penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru[12]. Walaupun pada masa kini kesahihan dari IQ test agak dipertanyakan validitasnya karena pada masa kini telah ada saingannya yaitu EQ test (Emotional Quotient), kebanyakan para psikolog saat ini juga sangat memperhatikan unsur ini karena sangat berpengaruh di dalam melakukan kegiatan sehari-hari, hal ini disebabkan manusia pada kehidupannya tidak hanya ikut didalam kegiatan yang bersifat intelektual saja, justru masalah sering muncul dari aspek sosial yang berkaitan dengan sifat-sifat emosional manusia. Misalnya masalah antara pasangan suami-istri, konflik di dalam sebuah organisasi ataupun perusahaan, seringkali hal-hal tersebut tidak dapat diprediksi oleh IQ test, jadi seseorang yang mempunyai score yang tinggi di dalam IQ testnya belum tentu menjadi seorang yang berhasil di dalam kehidupan sehari-harinya.
Di dalam penelitian mengenai IQ sendiri juga ada perbedaan-perbedaan mengenai aspek intelegensi, ada yang lebih memperhatikan G factor (semua aspek intelegensia seseorang mempunyai korelasi satu sama lain) dan ada juga yang lebih memperhatikan S factor (aspek kecerdasan seseorang berdiri sendiri dan tidak berkorelasi dengan aspek kecerdasan lainnya). Secara umum konsep intelegensia seseorang di dalam ilmu psikometri diukur menggunakan teknik statistik yang disebut analisis faktor, yang terdiri dari tujuh kemampuan yaitu : pemahaman lisan, kefasihan kata-kata, kemampuan angka-angka, penglihatan ruang, ingatan asosiatif, kecepatan persepsi dan penalaran. Dalam kasus penelitian Intelegensia juga pernah dilakukan oleh tiga orang ilmuwan yaitu Gregory Cochran, Jason Hardy dan Henry Harpending pada tahun 2005 terhadap salah satu suku Yahudi yaitu Ashkenazi (suku Ashkenazi merupakan salah satu subgroup dari ras Yahudi yang berimigrasi ke Eropa Tengah terutama ke sekitar kawasan Jerman, Polandia dan negara-negara Eropa Timur seperti Rusia mereka dikenal karena banyak melahirkan para ilmuwan yang pada umumnya dikenal oleh dunia diantaranya Albert Einstein, Sigmund Freud (penemu psikoanalisa) dan Karl Marx (penemu aliran sosialis-komunis bersama Friedrich Engels) selain itu 27% yang memenangkan Nobel Prize di bidang Ilmu Pengetahuan juga berasal dari suku Yahudi tersebut.
Dari hasil penelitian yang dilakukan mereka bertiga menyimpulkan bahwa suku tersebut mempunyai kecerdasan yang sangat baik dibidang logika matematika dan penalaran secara verbal dibandingkan ras yang lain namun kurang baik di dalam kecerdasan spasial, tetapi beberapa ilmuwan meragukan hal tersebut karena mereka menganggap bahwa kesuksesan suku Ashkenazi Yahudi di bidang ilmu pengetahuan secara khususnya juga sangat dipengaruhi faktor kebudayaan Yahudi yang sangat giat mempromosikan kegiatan intelektual[13]. Pendapat yang kedua memang juga memiliki kebenaran bahwa faktor kebudayaan juga sangat mempengaruhi hal tersebut, contohnya adalah ketika tradisi wanita Yahudi yang sedang hamil mereka melakukan intensitas yang cukup besar terhadap kegiatan di bidang matematika dan piano yang dianggap dapat meningkatkan kecerdasan embrio si anak yang masih dalam pembentukan di dalam rahim[14]. Steven Pinker juga menyatakan bahwa penelitian tersebut juga harus dilakukan terhadap anak yang diasuh oleh orang tua angkatnya agar validitasnya lebih kuat, apakah betul ada sebuah ras unggul yang bersifat pembawaan atau semua hanyalah faktor kebudayaan saja. Martin Zacharias Dase seorang remaja berusia 14 tahun dari Jerman di abad ke-19, ia mampu menghitung perkalian 79.532.853 dan 93.758.479 dalam waktu 54 detik, hal ini juga menunjukkan bahwa faktor genetik tidak bisa dikesampingkan begitu saja[15]. Sedangkan di Amerika Serikat dahulu penelitian terhadap IQ pernah membuktikan bahwa IQ orang-orang kulit putih AS lebih tinggi daripada orang-orang kulit hitam AS, hal ini dalam kebudayaan Amerika Serikat dahulunya orang-orang kulit hitam adalah budak dan kelas sosial mereka jauh lebih rendah. Namun dalam beberapa generasi belakangan ini hal tersebut mulai terkikis pelan-pelan dalam budaya Amerika Serikat[16] dan orang-orang kulit hitam keturunan mulai menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan, contohnya adalah Presiden AS Barrack Obama dan Mantan Menlu AS Condolezza Rice.
· INTERAKSI SOSIAL
Hubungan manusia dengan manusia lainnya atau hubungan manusia dengan kelompok, atau hubungan kelompok dengan kelompok lainnya inilah yang disebut interaksi sosial[17]. Teori Konvergensi selain berkaitan erat dengan intelegensia juga sangat berkaitan dengan interaksi sosial. Hal ini juga menjadi salah satu pembahasan utama di dalam bidang psikologi sosial, yang mana aspek-aspek ilmu psikologi bersubtraksi dengan ilmu sosiologi.
Di dalam kesehariaannya perilaku manusia tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan sosialnya, melakukan interaksi dengan teman di rumah, sekolah, kuliah atau pekerjaan. Francis Galton pernah membuktikan bahwa dua orang anak kembar identik, jika dididik dan dibesarkan dalam keluarga dengan lingkungan yang berbeda, akan mengembangkan sifat-sifat dan taraf kecerdasan yang berbeda jadi semakin besar perbedaan lingkungan dari kedua anak kembar tersebut maka perbedaan sifat kedua anak kembar itu akan semakin besar. Jadi bisa disimpulkan disini bahwa IQ dan perilaku seseorang juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya walaupun dalam batas-batas bawaan yang ada. Hal ini dilakukan oleh Francis Galton karena pada umumnya anak kembar mempunyai hubungan korelasi yang kuat terhadap IQnya yaitu mencapai > 0,80 (dalam korelasi statistik Pearson angka tersebut menunjukkan korelasi yang tinggi)[18]. Di dalam ilmu sosiologi ada yang disebut interaksionisme simbolik, dalam hal tersebut sebuah ide/pemikiran, simbol, kata-kata yang dikonstruksikan di dalam suatu kebudayaan dan akhirnya menjadi norma-norma sosial. Di dalam dunia pendidikan misalnya keberhasilan seorang anak tidak hanya ditentukan oleh bakat yang diperolehnya dari kedua orang tuanya tetapi juga ada faktor lain yang menentukan namun bukanlah hal yang mutlak juga sifatnya, misalnya adalah guru yang membimbing ataupun mengarahkannya. Hal ini hanya sekedar perbandingan saja.
Contoh klasik dalam hal ini ialah, Raja Makedonia Alexander Agung yang mampu menguasai Asia dalam usia 32 tahun adalah murid dari filsuf Yunani Kuno Aristoteles, lalu investor terkenal dunia yaitu George Soros merupakan murid dari filsuf sains dari Austria yang bernama Karl Popper. Dari dua contoh ini bisa dilihat pengaruh di bidang intelegensia tidak hanya menurun dari orang tua saja tetapi juga menular dari orang lain apalagi intensitasnya cukup tinggi. Di dalam ilmu sosiologi biasanya tingkah laku seseorang dan juga kelompok masyarakat sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial di sekitarnya sebagai contoh adalah di dalam dunia barat pelajaran yang mengandung Darwinisme Sosial dianggap sudah biasa namun di kalangan budaya yang tidak menerima hal tersebut tidak akan memasukkannya kedalam kurikulum pelajaran yang ada di sekolah-sekolah, hal ini disebabkan oleh “persepsi” mereka langsung menjudge Charles Darwin adalah seorang yang mengajukan konsep bahwa manusia berevolusi dari monyet padahal selain itu ada pemikiran Darwin yang bisa diterima di masyarakat contohnya konsepsurvival of the fittest. Dari hal ini bisa dilihat “persepsi” seseorang yang biasanya dipelajari didalam psikologi kognitif juga sangat ditentukan oleh norma-norma sosial.
Juga ada pertanyaan mengenai “Mengapa orang-orang barat hampir selalu menjadi pionir di dalam perubahan-perubahan teknologi?”. Negara barat yang pertama kali menciptakan teknologi mesin uap, mesin mobil, handphone sampai teknologi internet. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan negara-negara di Eropa secara umum mengalami proses perubahan sosial secara radikal di dalam masyarakatnya tepatnya pada abad 15-18 yang sering disebut sebagai abad Renaissance dan abad Pencerahan yang kemudian sangat mempengaruhi norma-norma sosial mereka terutama di bidang pendidikan. Hal ini yang menyebabkan masyarakat kebudayaan barat perilakunya cenderung rasional, empiris dan pragmatis. Di dalam kebudayaan barat perilaku-perilaku masyarakatnya secara umum kurang mempercayai hal-hal takhayul dan bersifat gaib, hal ini juga saat erat dengan faktor interaksi sosial di dalam suatu masyarakat. Jadi pada contoh diatas bisa diambil kesimpulan bahwa norma sosial atau lingkungan yang ada di sekitarnya juga turut mempengaruhi tingkah laku seseorang.
KESIMPULAN
Teori Konvergensi menurut kami mengajukan suatu konsep yang lengkap mengenai apakah keberhasilan seseorang didapat dari sifat-sifat keturunan dan juga dari lingkungan sekitarnya dan dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang ada disekitar kita. Namun demikian kemunculan teori ini sebenarnya tidak menyumbangkan pemikiran baru dibidang psikologi kecuali konsep IQnya, karena kemunculannya hanya merupakan proses penggabungan atau lebih tepatnya proses yang menjembatani dua paham psikologi yang sudah ada sebelumnya yaitu paham empiris dan paham nativis yang digunakan secara bersamaan oleh William Louis Stern.
TEORI KONVERGENSI PENGERTIAN DAN TOKOHNYA
PENDAHULUAN
Pada pembahasan makalah kali ini penulis (kami) mencoba menjelaskan pengertian dari teori konvergensi dalam ilmu psikologi dan juga tokohnya. Teori konvergensi didalam ilmu psikologi merupakan sebuah teori yang tergolong masih baru dikarenakan teori ini merupakan gabungan dari teori nativisme dan teori empirisme yang kedua teori tersebut sangat erat kaitannya dengan paham filsafat. Sebelumnya pada bagian pendahuluan ini kami akan menjelaskan secara singkat pengertian paham nativisme dan empirisme terlebih dahulu dan memperlihatkan kelemahan kedua teori tersebut yang mengakibatkan munculnya teori konvergensi.
Empirisme
Teori empirisme menyatakan bahwa watak/kepribadian dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh secara inderawi, John Locke yang merupakan salah satu filsuf Inggris yang sangat mempengaruhi aliran empirisme memperkenalkan suatu diktum sebagai berikut: “Andaikan pikiran manusia sebagai kertas putih yang tak ada sama sekali materi di dalamnya, lalu, pikirkan bagaimana manusia caranya pikiran manusia bisa memiliki banyak corak? Darimana asalnya semua penalaran dan pengetahuan yang ada dalam diri manusia? Hal itu cuma memiliki satu jawaban yaitu pengalaman[1]. Locke mengandaikan pikiran manusia sebagai sebuah kertas putih / batu tulis yang disebut sebagai tabula rasa (sebenarnya konsep tabula rasa ini pertama kali diungkapkan oleh Aristoteles) yang diisi oleh pengalaman-pengalaman inderawi manusia yang berasal dari lingkungan sekitarnya, dalam artian bahwa tanpa pengalaman maka manusia hampir tidak mungkin untuk memproduksi pengetahuan & ilmu pengetahuan, melakukan proses belajar, introspeksi diri, dll. Namun, di lain sisi teori empirisme tetap mempunyai kelemahan dan kebanyakan para psikolog yang berseberangan alirannya dengan teori empiris mempertentangkan hal tersebut, contohnya adalah Steven Pinker berargumen bahwa meskipun kita mengijinkan pengalaman inderawi mempengaruhi pikiran dan sikap kita, adalah kesalahan dalam berfikir bahwa cara kerja otak manusia seperti komputer yang bisa mendownload materi kedalam otak dan menaruhnya dalam “file-file” tertentu, Pinker mengajukan pernyataan yang sangat sederhana, saat anda membaca sebuah buku pada halaman pertama, kemudian tutuplah buku tersebut dan tulis ulang semua kata-kata yang tertera di dalam halaman pertama buku tersebut secara akurat, ia yakin seseorang tidak akan mampu melakukan hal tersebut dan hanya mampu membuat intisari dari bacaan tersebut[2], karena pada dasarnya otak manusia diciptakan hanya dengan dua sistem proses berfikir yaitusemantic (pengartian & pemahaman) dan syntax (logika dan struktur).
Nativisme
Teori Nativisme menganggap bahwa manusia sudah memiliki watak/kepribadian yang bersifat pembawaan sejak lahir yang sering disebut sebagai innate / original idea (sebuah ide yang diperoleh tanpa melalui proses persepsi ataupun pengaruh dari lingkungan sekitarnya) selain itu hal ini seringkali berkaitan dengan konsep intelegensia seseorang. Selain itu ada juga yang disebut sebagai adventitious idea, yang mana sebuah ide atau konsep yang muncul (melalui proses kognisi) disebabkan oleh obyek yang ada di luar fikiran kita. Secara filsafati teori ini berasal dari paham rasionalisme Phytagoras seorang filsuf Yunani Kuno pada abad ke 6 sebelum masehi yang kemudian dikembangkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz, ia meragukan argumen John Locke diatas dan menyebutkan bahwa terdapat suatu “jiwa” (logos), “The question of the origin of our ideas and our maxims is not preliminary in Philosophy and we must have made great progress in order to solve it successfully, I think, however, that I can say that our ideas, even those of sensible things come from within our own soul[3]... Leibniz menyatakan bahwa hal-hal yang nyata oleh indra manusia sekalipun itu berasal dari jiwa. Argumen yang dibuat oleh Leibniz cenderung bersifat metafisika dan bersifat subyektif karena dalam paham filsafatnya Leibniz seringkali mengaitkannya dengan teologi namun begitu ia sangat percaya intelektualitas bersifat bawaan karena ia adalah seorang inventor (penemu) dibanding seorang filsuf murni seperti John Locke. Teori Nativis terutama sekali menyatakan bahwa faktor intelegensia seseorang ditentukan oleh faktor genetika, penelitian dibidang ini kebanyakan dilakukan oleh ahli biologi. Menurut paham nativisme bahwa cara berfikir dan berperilaku manusia sama sekali tidak berkaitan dengan faktor lingkungan di sekitarnya (secara psikologis masing-masing manusia mempunyai jati dirinya masing-masing yang bersifat unik). Hal ini mempunyai kebenaran jika misalnya dikaitkan dengan sejarah terciptanya ilmu matematika, Phytagoras misalnya tidak melakukan observasi empiris saat ia menciptakan rumus Phytagoras dan hal tersebut merupakan logika terstruktur yang ada didalam fikirannya menurut banyak orang hal tersebut adalah ide orisinil. Dari contoh tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa tidak selamanya pengamatan inderawi manusia turut mempengaruhi pemikirannya. Di dalam perkembangan ilmu psikologi selanjutnya, Franz Joseph Gall seorang fisiolog dari Jerman menciptakan metode yang dinamakan phrenology untuk melacak jejak pembawaan kepribadian seseorang namun karena kurang kuat dasar-dasar ilmiahnya (pseudo-science) maka metode ini tidak bertahan lama[4]. Contoh kejanggalan di dalam teori nativisme adalah bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan sebuah kegiatan (misalnya belajar berenang) tanpa adanya proses kesadaran yang didapat melalui saraf-saraf inderawi? Maka dari itu teori konvergensi muncul di dalam ilmu psikologi untuk menjembatani kedua paham yaitu : teori nativisme dan teori empirisme. Walaupun kebanyakan para ilmuwan di berbagai bidang saat ini lebih mempercayai pengetahuan manusia secara umum dibentuk melalui pengalaman.
DEFINISI TEORI KONVERGENSI & WILLIAM LOUIS STERN (1871-1938)
Teori Konvergensi (berasal dari kata Convergence (Inggris) yang berarti pertemuan di satu titik)) menyatakan bahwa pembentukan atau perkembangan kepribadian seseorang ditentukan oleh faktor pembawaan dan juga faktor lingkungan di sekitarnya, hal ini dikemukakan oleh salah satu tokohnya yaitu William Louis Stern[5]. William Louis Stern sendiri mendefinisikan bahwa ilmu psikologi adalah ilmu tentang individu yang mengalami / menghayati, dengan definisinya tersebut ia berusaha untuk menjembatani teori nativis dan teori empiris (jadi ia memakai/menganutnya kedua teori tersebut sekaligus)[6]. William Louis Stern merupakan ilmuwan yang memperkenalkan konsep IQ (Intellegent Quotient) kepada masyarakat luas yang masih bertahan sampai saat ini. Dasar teori dari konsep IQ ini sendiri ialah bahwa setiap orang memiliki taraf kecerdasan yang berbeda-beda[7]. Secara umum William Louis Stern merumuskan konsep IQ sebagai berikut :
Dimana[8] : MA = Mental Age (Usia Mental)
CA = Calendar Age (Usia Kalender)
Usia mental adalah usia yang didalam ilmu psikologi dianggap sebagai ukuran kecerdasan seorang anak di dalam melakukan aktifitas intelektual. Menurut William Stern, seseorang yang mempunyai taraf kecerdasan normal, mempunyai usia mental yang sama dengan usia kalendernya. Contohnya : Kalau usia mental anak tersebut 14 tahun dan usia kalendernya masih 12 tahun maka, nilai IQ anak tersebut sekitar 116. Jika usia kalendernya 8 tahun dan usia mentalnya 10 maka nilai IQ anak tersebut 125. William Louis Stern sendiri mengkategorikan nilai IQ > 100 sebagai lebih pandai dari rata-rata, nilai IQ 100 adalah rata-rata dan nilai IQ < 100 adalah di bawah normal. Tetapi perhitungan diatas hanya berlaku bagi seseorang yang masih berusia < 20 tahun, jika sudah > 20 tahun maka perlu digunakan tes khusus yang bisa langsung mengukur IQ tanpa harus membagi atau menghitung perbandingan seperti diatas[9], tetapi khusus untuk kategori nilainya tetap sama. Sedangkan didalam ilmu biopsikologi bahwa perilaku-perilaku dan intelegensia tidak hanya merupakan faktor bawaan ataupun lingkungan tetapi juga ada faktor lain yang sangat menentukan yaitu keadaan janin, nutrisi, stress dan rangsangan sensori[10]. Selain itu mereka para pakar biopsikologi percaya bahwa interaksi antara faktor bawaan dan pengalaman seseorang pada lingkungan atau situasi tertentu akan menghasilkan sebuah evolusi terhadap gen manusia (plasma pembawa sifat keturunan) yang otomatis akan menghasilkan perilaku-perilaku yang baru[11].
Pada bab selanjutnya kami membagi dua garis besar di dalam bidang intelegensia dan interaksi sosial yang berkenanaan dengan teori Konvergensi tersebut. Faktor intelegensia dan interaksi sosial merupakan sebuah isu klasik di dalam dunia psikologi, yang seringkali para pakar psikologi ataupun biopsikologi menyebutnya Nature-Nurture debate. Jauh sebelum para pakar psikologi yang lebih modern muncul, Rene Descartes pernah mengajukan konsepmind-body problem atau Cartesian Dualism di dalam filsafat yang mempunyai arti bahwa keberadaan atau kesadaran manusia oleh faktor jiwa (intelegensia) dan material/lingkungan. Yang sebenarnya mempunyai arti kurang lebih sama dengan paham teori konvergensi didalam ilmu psikologi. Maka dari itu penting bagi kami untuk mengkaji lebih dalam masalah tersebut didalam uraian di bawah ini.
· INTELEGENSIA
Didalam ilmu psikologi masalah intelegensia adalah salah satu bahasan pokok yang biasanya dibahas di dalam psikologi kognitif. Ia memberikan definisi intelegensi secara fungsional dan terbatas yaitu : penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru[12]. Walaupun pada masa kini kesahihan dari IQ test agak dipertanyakan validitasnya karena pada masa kini telah ada saingannya yaitu EQ test (Emotional Quotient), kebanyakan para psikolog saat ini juga sangat memperhatikan unsur ini karena sangat berpengaruh di dalam melakukan kegiatan sehari-hari, hal ini disebabkan manusia pada kehidupannya tidak hanya ikut didalam kegiatan yang bersifat intelektual saja, justru masalah sering muncul dari aspek sosial yang berkaitan dengan sifat-sifat emosional manusia. Misalnya masalah antara pasangan suami-istri, konflik di dalam sebuah organisasi ataupun perusahaan, seringkali hal-hal tersebut tidak dapat diprediksi oleh IQ test, jadi seseorang yang mempunyai score yang tinggi di dalam IQ testnya belum tentu menjadi seorang yang berhasil di dalam kehidupan sehari-harinya.
Di dalam penelitian mengenai IQ sendiri juga ada perbedaan-perbedaan mengenai aspek intelegensi, ada yang lebih memperhatikan G factor (semua aspek intelegensia seseorang mempunyai korelasi satu sama lain) dan ada juga yang lebih memperhatikan S factor (aspek kecerdasan seseorang berdiri sendiri dan tidak berkorelasi dengan aspek kecerdasan lainnya). Secara umum konsep intelegensia seseorang di dalam ilmu psikometri diukur menggunakan teknik statistik yang disebut analisis faktor, yang terdiri dari tujuh kemampuan yaitu : pemahaman lisan, kefasihan kata-kata, kemampuan angka-angka, penglihatan ruang, ingatan asosiatif, kecepatan persepsi dan penalaran. Dalam kasus penelitian Intelegensia juga pernah dilakukan oleh tiga orang ilmuwan yaitu Gregory Cochran, Jason Hardy dan Henry Harpending pada tahun 2005 terhadap salah satu suku Yahudi yaitu Ashkenazi (suku Ashkenazi merupakan salah satu subgroup dari ras Yahudi yang berimigrasi ke Eropa Tengah terutama ke sekitar kawasan Jerman, Polandia dan negara-negara Eropa Timur seperti Rusia mereka dikenal karena banyak melahirkan para ilmuwan yang pada umumnya dikenal oleh dunia diantaranya Albert Einstein, Sigmund Freud (penemu psikoanalisa) dan Karl Marx (penemu aliran sosialis-komunis bersama Friedrich Engels) selain itu 27% yang memenangkan Nobel Prize di bidang Ilmu Pengetahuan juga berasal dari suku Yahudi tersebut.
Dari hasil penelitian yang dilakukan mereka bertiga menyimpulkan bahwa suku tersebut mempunyai kecerdasan yang sangat baik dibidang logika matematika dan penalaran secara verbal dibandingkan ras yang lain namun kurang baik di dalam kecerdasan spasial, tetapi beberapa ilmuwan meragukan hal tersebut karena mereka menganggap bahwa kesuksesan suku Ashkenazi Yahudi di bidang ilmu pengetahuan secara khususnya juga sangat dipengaruhi faktor kebudayaan Yahudi yang sangat giat mempromosikan kegiatan intelektual[13]. Pendapat yang kedua memang juga memiliki kebenaran bahwa faktor kebudayaan juga sangat mempengaruhi hal tersebut, contohnya adalah ketika tradisi wanita Yahudi yang sedang hamil mereka melakukan intensitas yang cukup besar terhadap kegiatan di bidang matematika dan piano yang dianggap dapat meningkatkan kecerdasan embrio si anak yang masih dalam pembentukan di dalam rahim[14]. Steven Pinker juga menyatakan bahwa penelitian tersebut juga harus dilakukan terhadap anak yang diasuh oleh orang tua angkatnya agar validitasnya lebih kuat, apakah betul ada sebuah ras unggul yang bersifat pembawaan atau semua hanyalah faktor kebudayaan saja. Martin Zacharias Dase seorang remaja berusia 14 tahun dari Jerman di abad ke-19, ia mampu menghitung perkalian 79.532.853 dan 93.758.479 dalam waktu 54 detik, hal ini juga menunjukkan bahwa faktor genetik tidak bisa dikesampingkan begitu saja[15]. Sedangkan di Amerika Serikat dahulu penelitian terhadap IQ pernah membuktikan bahwa IQ orang-orang kulit putih AS lebih tinggi daripada orang-orang kulit hitam AS, hal ini dalam kebudayaan Amerika Serikat dahulunya orang-orang kulit hitam adalah budak dan kelas sosial mereka jauh lebih rendah. Namun dalam beberapa generasi belakangan ini hal tersebut mulai terkikis pelan-pelan dalam budaya Amerika Serikat[16] dan orang-orang kulit hitam keturunan mulai menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan, contohnya adalah Presiden AS Barrack Obama dan Mantan Menlu AS Condolezza Rice.
· INTERAKSI SOSIAL
Hubungan manusia dengan manusia lainnya atau hubungan manusia dengan kelompok, atau hubungan kelompok dengan kelompok lainnya inilah yang disebut interaksi sosial[17]. Teori Konvergensi selain berkaitan erat dengan intelegensia juga sangat berkaitan dengan interaksi sosial. Hal ini juga menjadi salah satu pembahasan utama di dalam bidang psikologi sosial, yang mana aspek-aspek ilmu psikologi bersubtraksi dengan ilmu sosiologi.
Di dalam kesehariaannya perilaku manusia tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan sosialnya, melakukan interaksi dengan teman di rumah, sekolah, kuliah atau pekerjaan. Francis Galton pernah membuktikan bahwa dua orang anak kembar identik, jika dididik dan dibesarkan dalam keluarga dengan lingkungan yang berbeda, akan mengembangkan sifat-sifat dan taraf kecerdasan yang berbeda jadi semakin besar perbedaan lingkungan dari kedua anak kembar tersebut maka perbedaan sifat kedua anak kembar itu akan semakin besar. Jadi bisa disimpulkan disini bahwa IQ dan perilaku seseorang juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya walaupun dalam batas-batas bawaan yang ada. Hal ini dilakukan oleh Francis Galton karena pada umumnya anak kembar mempunyai hubungan korelasi yang kuat terhadap IQnya yaitu mencapai > 0,80 (dalam korelasi statistik Pearson angka tersebut menunjukkan korelasi yang tinggi)[18]. Di dalam ilmu sosiologi ada yang disebut interaksionisme simbolik, dalam hal tersebut sebuah ide/pemikiran, simbol, kata-kata yang dikonstruksikan di dalam suatu kebudayaan dan akhirnya menjadi norma-norma sosial. Di dalam dunia pendidikan misalnya keberhasilan seorang anak tidak hanya ditentukan oleh bakat yang diperolehnya dari kedua orang tuanya tetapi juga ada faktor lain yang menentukan namun bukanlah hal yang mutlak juga sifatnya, misalnya adalah guru yang membimbing ataupun mengarahkannya. Hal ini hanya sekedar perbandingan saja.
Contoh klasik dalam hal ini ialah, Raja Makedonia Alexander Agung yang mampu menguasai Asia dalam usia 32 tahun adalah murid dari filsuf Yunani Kuno Aristoteles, lalu investor terkenal dunia yaitu George Soros merupakan murid dari filsuf sains dari Austria yang bernama Karl Popper. Dari dua contoh ini bisa dilihat pengaruh di bidang intelegensia tidak hanya menurun dari orang tua saja tetapi juga menular dari orang lain apalagi intensitasnya cukup tinggi. Di dalam ilmu sosiologi biasanya tingkah laku seseorang dan juga kelompok masyarakat sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial di sekitarnya sebagai contoh adalah di dalam dunia barat pelajaran yang mengandung Darwinisme Sosial dianggap sudah biasa namun di kalangan budaya yang tidak menerima hal tersebut tidak akan memasukkannya kedalam kurikulum pelajaran yang ada di sekolah-sekolah, hal ini disebabkan oleh “persepsi” mereka langsung menjudge Charles Darwin adalah seorang yang mengajukan konsep bahwa manusia berevolusi dari monyet padahal selain itu ada pemikiran Darwin yang bisa diterima di masyarakat contohnya konsepsurvival of the fittest. Dari hal ini bisa dilihat “persepsi” seseorang yang biasanya dipelajari didalam psikologi kognitif juga sangat ditentukan oleh norma-norma sosial.
Juga ada pertanyaan mengenai “Mengapa orang-orang barat hampir selalu menjadi pionir di dalam perubahan-perubahan teknologi?”. Negara barat yang pertama kali menciptakan teknologi mesin uap, mesin mobil, handphone sampai teknologi internet. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan negara-negara di Eropa secara umum mengalami proses perubahan sosial secara radikal di dalam masyarakatnya tepatnya pada abad 15-18 yang sering disebut sebagai abad Renaissance dan abad Pencerahan yang kemudian sangat mempengaruhi norma-norma sosial mereka terutama di bidang pendidikan. Hal ini yang menyebabkan masyarakat kebudayaan barat perilakunya cenderung rasional, empiris dan pragmatis. Di dalam kebudayaan barat perilaku-perilaku masyarakatnya secara umum kurang mempercayai hal-hal takhayul dan bersifat gaib, hal ini juga saat erat dengan faktor interaksi sosial di dalam suatu masyarakat. Jadi pada contoh diatas bisa diambil kesimpulan bahwa norma sosial atau lingkungan yang ada di sekitarnya juga turut mempengaruhi tingkah laku seseorang.
KESIMPULAN
Teori Konvergensi menurut kami mengajukan suatu konsep yang lengkap mengenai apakah keberhasilan seseorang didapat dari sifat-sifat keturunan dan juga dari lingkungan sekitarnya dan dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang ada disekitar kita. Namun demikian kemunculan teori ini sebenarnya tidak menyumbangkan pemikiran baru dibidang psikologi kecuali konsep IQnya, karena kemunculannya hanya merupakan proses penggabungan atau lebih tepatnya proses yang menjembatani dua paham psikologi yang sudah ada sebelumnya yaitu paham empiris dan paham nativis yang digunakan secara bersamaan oleh William Louis Stern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar